Pada
awal Januari Tahun 2015, Badan Pusat Statistik merilis angka inflasi
tahun 2014 sebesar 8,36 persen. Jika dibandingkan dengan tahun 2013,
sebetulnya angka tersebut lebih rendah 0,02 persen (inflasi tahun 2012
sebesar 8,38 persen). Namun demikian jika kita telaah lebih dalam,
sebetulnya pemerintahan SBY sampai dengan Bulan Oktober 2014 mampu
meredam inflasi tahun kalender sebesar 4,18 persen.
Akan
tetapi dalam waktu dua bulan, pemerintahan baru tidak mampu menahan
kenaikan harga kebutuhan pokok yang disebabkan pengurangan subsidi
premium dan solar. Kenaikan BBM sebesar Rp 2.000,- berkontribusi
terhadap inflasi tahun 2014 sebesar 4,18 persen dari total inflasi tahun
2014 sebesar 8,36 persen, padahal kembali saya ingatkan bahwa pada
tahun 2014 pemerintahan SBY mampu menahan laju inflasi kalender selama
10 bulan sebesar 4,18 persen. Seperti kita ketahui bersama pada bulan
November, pemerintah Jokowi mengeluarkan kebijakan mengurangi subsidi
BBM dengan dalih anggaran subsidi BBM pada tahun 2014 sudah habis. Pada
saat itu harga premium menjadi Rp 8.500/liter (naik Rp 2.000,-) dan
solar menjadi Rp 7.500/liter (naik Rp 2.000,-).
Seiring
dengan terus menurunnya harga minyak dunia dan pada tanggal 11 Januari
2015 hanya menyentuh level 48,36 US$/Barel, membuat pemerintah pada awal
tahun 2015 menyesuaikan harga BBM yang konon harganya akan dievaluasi
setiap bulannya menjadi Rp 7.600,00 untuk premium dan Rp 7.200,- untuk
solar. Namun pepatah mengatakan ibarat nasi sudah menjadi bubur,
harga-harga kebutuhan pokok sudah terlanjur naik dan tidak menunjukkan
tanda-tanda akan turun lagi pasaca penurunan harga BBM Bulan Januari.
Angka
inflasi Bulan Januari 2015 akan sangat ditunggu dan menjadi pembuktian
pernyataan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, bahwa penurunan harga BBM
tidak harus diikuti penurunan harga kebutuhan pokok. Jika pada Bulan
Januari harga-harga komoditas penghitung inflasi masih menunjukan
kenaikan, maka bisa kita simpulkan pemerintah merampok uang rakyat
secara nyata. Apalagi jika pada Bulan Februari rencananya pemerintah
akan menetapkan harga BBM untuk premium menjadi Rp 6.000,-/ liter.
Kebijakan
penyesuaian harga BBM yang di evaluasi setiap bulan mengikuti
perkembangan harga minyak dunia hanya akan menimbulkan inflasi yang
tidak stabil bagi negara kita. Ketika harga minyak dunia turun yang
diikuti turunnya harga BBM nasional tidak diikuti penurunan harga
kebutuhan pokok (deflasi). Namun ketika harga minyak dunia merangkak
naik, diikuti kenaikan harga BBM nasional tentunya akan disambut cepat
dengan kenaikan harga kebutuhan pokok (inflasi).
Inflasi
yang tidak terkontrol akan mengurangi secara riil masyarakat yang
memiliki tabungan di Bank. Sebagai ilustrasi, di awal tahun 2014
tabungan di Bank sebanyak Rp 1.000.000,- mampu membeli beras sebanyak
100 kg dengan asumsi harga beras Rp 10.000,-/kg. Inflasi ditahun 2014
sebesar 8,36 persen membuat harga beras di awal tahun 2015 menjadi Rp
10.800.-. Dengan demikian, tabungan kita di Bank sebesar Rp 1.000.000,-
hanya mampu membeli beras sebanyak 92.5 kg. Artinya jika beras menjadi
tolak ukur, pada tahun 2014 kita kehilangan beras sebanyak 7.5 kg secara
cuma-cuma.
Untuk
itulah pentingnya pemerintah menjaga angka inflasi. Jika pemerintah
tidak memperhatikan indikator makro ekonomi ini, maka dikawatirkan
kepercayaan masyarakat untuk menyimpan uang Rupiah semakin rendah.
Rakyat saat ini sudah pandai melihat kondisi perekonomian. Jika
membiarkan uang mengendap di Bank dengan inflasi yang tidak terkontrol,
maka sama saja dengan membiarkan uang mereka digerogoti inflasi.
Kemungkinan
besar jika kepercayaan masyarakat menyimpan rupiah di Bank semakin
menurun, maka masyarakat akan lebih memilih menyimpan uangnya dalam
bentuk emas atau tanah. Dan jika masyarakat kompak mengambil tabungan
yang ada di Bank secara serentak, bisa dipastikan kondisi ini adalah
awal dari krisis moneter.
Semoga kondisi perekonomian Indonesia tetap stabil dan pemerintahan Ir. Joko Widodo mampu meredam angka inflasi.
No comments:
Post a Comment