Opini Serambi: BADAN Pusat Statistik (BPS) Aceh, pada 5 Mei
2014 lalu, kembali merilis angka pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, ekonomi
Aceh triwulan I 2014 mengalami kontraksi (tumbuh minus) sebesar 0,20%
jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Meski demikian, kondisi
perekonomian Aceh triwulan I 2014 yang dirilis BPS Aceh itu, ternyata
masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan I 2013 (naik 3,26%).
Melemahnya
perekonomian Aceh pada triwulan I 2014 jika dibandingkan triwulan IV
2013, sangat dipengaruhi oleh besarnya realisasi belanja pemerintah pada
triwulan IV 2013. Di sisi lain pada triwulan I 2014, realisasi belanja
pemerintah tidak sebesar triwulan IV 2013. Kondisi ini sesuai dengan
pernyataan guru besar Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Raja
Masbar yang dimuat di majalah Aceh Economic Review.
Dalam
kesempatan tersebut, Raja Masbar mengungkapkan bahwa perekonomian Aceh
sangat erat kaitannya dengan pencairan anggaran Anggaran Pendapatan
Belanja Aceh (APBA) dan Angggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota
(APBK). Apabila pencairan APBA dan APBK terhambat, maka ekonomi Aceh
akan melambat dan sebaliknya apabila cepat cair, maka perekonomian Aceh
akan tumbuh. Dari pernyataan Raja Masbar, bisa kita simpulkan bahwa
ekonomi Aceh (saya sebut memiliki penyakit ketergantungan pada APBA dan
APBK).
Perekonomian Aceh ke depan harus tumbuh menjadi ekonomi
yang kuat tanpa ketergantungan pada APBA/APBK. Gambaran perekonomian
Aceh tercermin dalam grafik yang disajikan di halaman ini. Grafik ini
menggambarkan kondisi perekonomian Aceh Triwulan I 2014. Dari grafik
tersebut dapat dilihat bahwa separuh lebih ekonomi Aceh didominasi oleh
kegiatan konsumsi (konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah).
Sedangkan komponen PMTB dan komponen ekspor hanya berkontribusi sekitar
sepertiga perekonomian Aceh.
Secara umum struktur perekonomian Aceh dari tahun ke tahun tidak terlalu berbeda jauh. Komponen Konsumsi rumah tangga mendominasi dengan kontribusi berkisar 40%. Kemudian berturut-turut diikuti komponen konsumsi pemerintah, komponen ekspor, komponen PMTB dan yang terakhir komponen impor. Dominasi komponen konsumsi rumah tangga pada struktur perekonomian menunjukkan kondisi perekonomian yang rapuh.
Dominasi
komponen konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan jumlah penduduk.
Artinya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di suatu daerah,
maka akan berdampak pada kenaikan komponen konsumsi rumah tangga. Di
Aceh sendiri masih dibayangi oleh kegiatan ekonomi warung kopi. Tidak
bisa dipungkiri bahwa warung kopi cukup besar sumbangannya dalam
perekonomian Aceh. Jika suatu saat budaya duduk di warung kopi ini
hilang, maka bisa dipastikan perekonomian Aceh akan mengalami goncangan
yang cukup besar.
Di samping itu, suatu daerah memiliki titik
jenuh penyediaan pangan dan papan bagi penduduknya, sehingga pemerintah
terpaksa mengimpornya. Kebijakan ini diambil akibat dari kelebihan
jumlah penduduk yang membuat Aceh suatu saat tidak mampu menyediakan
pangan dari hasil buminya sendiri. Seperti kita ketahui, impor hanya
akan berdampak pada berkurangnya uang beredar yang ada di Aceh. Ini
tentunya berpengaruh pula pada aktivitas ekonomi di Aceh yang pada
akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.
Penyumbang
terbesar kedua perekonomian Aceh adalah komponen konsumsi pemerintah.
Suatu perekonomian juga dikatakan tidak sehat jika komponen konsumsi
pemerintah terlalu besar persentasenya. Saat ini posisi komponen
konsumsi pemerintah sebesar 24 persen dari total perekonomian Aceh.
Sebagai tambahan informasi, konsumsi pemerintah didapatkan dari belanja
pegawai (upah dan gaji), belanja social dan belanja barang dan jasa.
Keadaan
ini mengingatkan kita pada masalah belanja pegawai kebanyakan
pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang hampir mencapai separoh dari
APBK, bahkan lebih. Maka jika diasumsikan belanja pegawai Pemerintah
Aceh mencapai separoh dari APBA, bisa kita simpulkan bahwa minimal 12%
atau lebih, perekonomian Aceh dikuasai oleh pegawai pemerintah (PNS).
Kembali
ke pokok bahasan awal, perekonomian yang kuat sebetulnya harus ditopang
oleh komponen PMTB dan komponen ekspor. Komponen PMTB berkaitan erat
dengan upaya meningkatkan produktivitas suatu daerah (belanja modal dan
investasi). Sedangkan besarnya ekspor menunjukkan kekuatan daya saing
suatu daerah terhadap daerah lain. Karena itu, untuk membentuk
perekonomian Aceh yang kuat, Pemerintah Aceh harus memperhatikan kondisi
ekspor dan PMTB kita. Saat ini kondisi ekspor Aceh semakin merosot.
Cari komoditas baru
Kepala BPS Aceh, Hermanto mengatakan bahwa sekitar 90% ekspor Aceh sangat bergantung pada migas, dan ini berdampak buruk apabila migas Aceh habis. Saat merilis PDRB triwulan I 2014 sebagaimana kita singgung di awal tulisan ini, Hermanto berpendapat bahwa Aceh harus segera mencari komoditas unggulan baru yang mampu menjadi komoditas ekspor unggulan. Komoditas baru itu diharapkan bisa menggantikan migas Aceh yang hampir habis sebagai penopang perekonomian Aceh.
Sebagai daerah yang
memiliki potensi pertanian, Pemerintah Aceh bisa fokus pada komoditas
pertanian agar memiliki nilai tambah yang lebih besar lagi, sehingga
mampu menghasilkan komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Bahkan, dalam
satu kunjungan kerja ke Aceh Barat, Hermanto memberikan masukan kepada
Pemkab setempat agar mampu meningkatkan nilai tambah komoditas
pertanian, seperti gabah. Menurutnya, saat ini jumlah gabah yang
diproduksi Aceh dengan gabah yang digiling di Aceh perbandingannya jauh
sekali jumlahnya.
Hal itu, menurut Hermanto, menunjukan bahwa
banyak sekali hasil gabah Aceh yang diolah di daerah lain. Ironisnya
gabah yang sudah diolah tersebut kemungkinan akan kembali ke Aceh dalam
bentuk beras bermerek. Tentunya harga beras tersebut lebih bernilai
dibandingkan gabah yang dulunya kita ekspor ke daerah tetangga. Ini baru
komoditas gabah, masih banyak lagi komoditas pertanian Aceh yang bisa
diolah menjadi lebih bernilai.
Meski demikian, terlepas dari
kondisi perekonomian Aceh yang saat ini bisa dikatakan rapuh, masih ada
sisi baiknya. Sisi baik perekonomian Aceh saat ini adalah kondisi neraca
perdagangan Aceh yang masih positif. Hal ini terlihat dari persentase
komponen ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan komponen impor.
Kondisi yang sudah baik ini hendaknya bisa dipertahankan Aceh di masa
yang akan datang. Semoga!
No comments:
Post a Comment