Thursday, July 26, 2018

Keadaan Perekomian Aceh 2014


Opini Serambi: BADAN Pusat Statistik (BPS) Aceh, pada 5 Mei 2014 lalu, kembali merilis angka pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, ekonomi Aceh triwulan I 2014 mengalami kontraksi (tumbuh minus) sebesar 0,20% jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Meski demikian, kondisi perekonomian Aceh triwulan I 2014 yang dirilis BPS Aceh itu, ternyata masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan I 2013 (naik 3,26%).

Melemahnya perekonomian Aceh pada triwulan I 2014 jika dibandingkan triwulan IV 2013, sangat dipengaruhi oleh besarnya realisasi belanja pemerintah pada triwulan IV 2013. Di sisi lain pada triwulan I 2014, realisasi belanja pemerintah tidak sebesar triwulan IV 2013. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan guru besar Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Raja Masbar yang dimuat di majalah Aceh Economic Review.

Dalam kesempatan tersebut, Raja Masbar mengungkapkan bahwa perekonomian Aceh sangat erat kaitannya dengan pencairan anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) dan Angggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK). Apabila pencairan APBA dan APBK terhambat, maka ekonomi Aceh akan melambat dan sebaliknya apabila cepat cair, maka perekonomian Aceh akan tumbuh. Dari pernyataan Raja Masbar, bisa kita simpulkan bahwa ekonomi Aceh (saya sebut memiliki penyakit ketergantungan pada APBA dan APBK).

Perekonomian Aceh ke depan harus tumbuh menjadi ekonomi yang kuat tanpa ketergantungan pada APBA/APBK. Gambaran perekonomian Aceh tercermin dalam grafik yang disajikan di halaman ini. Grafik ini menggambarkan kondisi perekonomian Aceh Triwulan I 2014. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa separuh lebih ekonomi Aceh didominasi oleh kegiatan konsumsi (konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah). Sedangkan komponen PMTB dan komponen ekspor hanya berkontribusi sekitar sepertiga perekonomian Aceh.

 Kondisi yang rapuh

Secara umum struktur perekonomian Aceh dari tahun ke tahun tidak terlalu berbeda jauh. Komponen Konsumsi rumah tangga mendominasi dengan kontribusi berkisar 40%. Kemudian berturut-turut diikuti komponen konsumsi pemerintah, komponen ekspor, komponen PMTB dan yang terakhir komponen impor. Dominasi komponen konsumsi rumah tangga pada struktur perekonomian menunjukkan kondisi perekonomian yang rapuh.

Dominasi komponen konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan jumlah penduduk. Artinya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di suatu daerah, maka akan berdampak pada kenaikan komponen konsumsi rumah tangga. Di Aceh sendiri masih dibayangi oleh kegiatan ekonomi warung kopi. Tidak bisa dipungkiri bahwa warung kopi cukup besar sumbangannya dalam perekonomian Aceh. Jika suatu saat budaya duduk di warung kopi ini hilang, maka bisa dipastikan perekonomian Aceh akan mengalami goncangan yang cukup besar.

Di samping itu, suatu daerah memiliki titik jenuh penyediaan pangan dan papan bagi penduduknya, sehingga pemerintah terpaksa mengimpornya. Kebijakan ini diambil akibat dari kelebihan jumlah penduduk yang membuat Aceh suatu saat tidak mampu menyediakan pangan dari hasil buminya sendiri. Seperti kita ketahui, impor hanya akan berdampak pada berkurangnya uang beredar yang ada di Aceh. Ini tentunya berpengaruh pula pada aktivitas ekonomi di Aceh yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.

Penyumbang terbesar kedua perekonomian Aceh adalah komponen konsumsi pemerintah. Suatu perekonomian juga dikatakan tidak sehat jika komponen konsumsi pemerintah terlalu besar persentasenya. Saat ini posisi komponen konsumsi pemerintah sebesar 24 persen dari total perekonomian Aceh. Sebagai tambahan informasi, konsumsi pemerintah didapatkan dari belanja pegawai (upah dan gaji), belanja social dan belanja barang dan jasa.

Keadaan ini mengingatkan kita pada masalah belanja pegawai kebanyakan pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang hampir mencapai separoh dari APBK, bahkan lebih. Maka jika diasumsikan belanja pegawai Pemerintah Aceh mencapai separoh dari APBA, bisa kita simpulkan bahwa minimal 12% atau lebih, perekonomian Aceh dikuasai oleh pegawai pemerintah (PNS).

Kembali ke pokok bahasan awal, perekonomian yang kuat sebetulnya harus ditopang oleh komponen PMTB dan komponen ekspor. Komponen PMTB berkaitan erat dengan upaya meningkatkan produktivitas suatu daerah (belanja modal dan investasi). Sedangkan besarnya ekspor menunjukkan kekuatan daya saing suatu daerah terhadap daerah lain. Karena itu, untuk membentuk perekonomian Aceh yang kuat, Pemerintah Aceh harus memperhatikan kondisi ekspor dan PMTB kita. Saat ini kondisi ekspor Aceh semakin merosot. 

 Cari komoditas baru

Kepala BPS Aceh, Hermanto mengatakan bahwa sekitar 90% ekspor Aceh sangat bergantung pada migas, dan ini berdampak buruk apabila migas Aceh habis. Saat merilis PDRB triwulan I 2014 sebagaimana kita singgung di awal tulisan ini, Hermanto berpendapat bahwa Aceh harus segera mencari komoditas unggulan baru yang mampu menjadi komoditas ekspor unggulan. Komoditas baru itu diharapkan bisa menggantikan migas Aceh yang hampir habis sebagai penopang perekonomian Aceh.

Sebagai daerah yang memiliki potensi pertanian, Pemerintah Aceh bisa fokus pada komoditas pertanian agar memiliki nilai tambah yang lebih besar lagi, sehingga mampu menghasilkan komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Bahkan, dalam satu kunjungan kerja ke Aceh Barat, Hermanto memberikan masukan kepada Pemkab setempat agar mampu meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian, seperti gabah. Menurutnya, saat ini jumlah gabah yang diproduksi Aceh dengan gabah yang digiling di Aceh perbandingannya jauh sekali jumlahnya. 

Hal itu, menurut Hermanto, menunjukan bahwa banyak sekali hasil gabah Aceh yang diolah di daerah lain. Ironisnya gabah yang sudah diolah tersebut kemungkinan akan kembali ke Aceh dalam bentuk beras bermerek. Tentunya harga beras tersebut lebih bernilai dibandingkan gabah yang dulunya kita ekspor ke daerah tetangga. Ini baru komoditas gabah, masih banyak lagi komoditas pertanian Aceh yang bisa diolah menjadi lebih bernilai.

Meski demikian, terlepas dari kondisi perekonomian Aceh yang saat ini bisa dikatakan rapuh, masih ada sisi baiknya. Sisi baik perekonomian Aceh saat ini adalah kondisi neraca perdagangan Aceh yang masih positif. Hal ini terlihat dari persentase komponen ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan komponen impor. Kondisi yang sudah baik ini hendaknya bisa dipertahankan Aceh di masa yang akan datang. Semoga!

No comments:

Post a Comment

Keadaan Perekomian Aceh 2014


Opini Serambi: BADAN Pusat Statistik (BPS) Aceh, pada 5 Mei 2014 lalu, kembali merilis angka pertumbuhan ekonomi. Hasilnya, ekonomi Aceh triwulan I 2014 mengalami kontraksi (tumbuh minus) sebesar 0,20% jika dibandingkan triwulan sebelumnya. Meski demikian, kondisi perekonomian Aceh triwulan I 2014 yang dirilis BPS Aceh itu, ternyata masih lebih baik jika dibandingkan dengan triwulan I 2013 (naik 3,26%).

Melemahnya perekonomian Aceh pada triwulan I 2014 jika dibandingkan triwulan IV 2013, sangat dipengaruhi oleh besarnya realisasi belanja pemerintah pada triwulan IV 2013. Di sisi lain pada triwulan I 2014, realisasi belanja pemerintah tidak sebesar triwulan IV 2013. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan guru besar Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Prof Dr Raja Masbar yang dimuat di majalah Aceh Economic Review.

Dalam kesempatan tersebut, Raja Masbar mengungkapkan bahwa perekonomian Aceh sangat erat kaitannya dengan pencairan anggaran Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) dan Angggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten/Kota (APBK). Apabila pencairan APBA dan APBK terhambat, maka ekonomi Aceh akan melambat dan sebaliknya apabila cepat cair, maka perekonomian Aceh akan tumbuh. Dari pernyataan Raja Masbar, bisa kita simpulkan bahwa ekonomi Aceh (saya sebut memiliki penyakit ketergantungan pada APBA dan APBK).

Perekonomian Aceh ke depan harus tumbuh menjadi ekonomi yang kuat tanpa ketergantungan pada APBA/APBK. Gambaran perekonomian Aceh tercermin dalam grafik yang disajikan di halaman ini. Grafik ini menggambarkan kondisi perekonomian Aceh Triwulan I 2014. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa separuh lebih ekonomi Aceh didominasi oleh kegiatan konsumsi (konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah). Sedangkan komponen PMTB dan komponen ekspor hanya berkontribusi sekitar sepertiga perekonomian Aceh.

 Kondisi yang rapuh

Secara umum struktur perekonomian Aceh dari tahun ke tahun tidak terlalu berbeda jauh. Komponen Konsumsi rumah tangga mendominasi dengan kontribusi berkisar 40%. Kemudian berturut-turut diikuti komponen konsumsi pemerintah, komponen ekspor, komponen PMTB dan yang terakhir komponen impor. Dominasi komponen konsumsi rumah tangga pada struktur perekonomian menunjukkan kondisi perekonomian yang rapuh.

Dominasi komponen konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan jumlah penduduk. Artinya, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di suatu daerah, maka akan berdampak pada kenaikan komponen konsumsi rumah tangga. Di Aceh sendiri masih dibayangi oleh kegiatan ekonomi warung kopi. Tidak bisa dipungkiri bahwa warung kopi cukup besar sumbangannya dalam perekonomian Aceh. Jika suatu saat budaya duduk di warung kopi ini hilang, maka bisa dipastikan perekonomian Aceh akan mengalami goncangan yang cukup besar.

Di samping itu, suatu daerah memiliki titik jenuh penyediaan pangan dan papan bagi penduduknya, sehingga pemerintah terpaksa mengimpornya. Kebijakan ini diambil akibat dari kelebihan jumlah penduduk yang membuat Aceh suatu saat tidak mampu menyediakan pangan dari hasil buminya sendiri. Seperti kita ketahui, impor hanya akan berdampak pada berkurangnya uang beredar yang ada di Aceh. Ini tentunya berpengaruh pula pada aktivitas ekonomi di Aceh yang pada akhirnya akan menghambat pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.

Penyumbang terbesar kedua perekonomian Aceh adalah komponen konsumsi pemerintah. Suatu perekonomian juga dikatakan tidak sehat jika komponen konsumsi pemerintah terlalu besar persentasenya. Saat ini posisi komponen konsumsi pemerintah sebesar 24 persen dari total perekonomian Aceh. Sebagai tambahan informasi, konsumsi pemerintah didapatkan dari belanja pegawai (upah dan gaji), belanja social dan belanja barang dan jasa.

Keadaan ini mengingatkan kita pada masalah belanja pegawai kebanyakan pemerintah kabupaten/kota di Indonesia yang hampir mencapai separoh dari APBK, bahkan lebih. Maka jika diasumsikan belanja pegawai Pemerintah Aceh mencapai separoh dari APBA, bisa kita simpulkan bahwa minimal 12% atau lebih, perekonomian Aceh dikuasai oleh pegawai pemerintah (PNS).

Kembali ke pokok bahasan awal, perekonomian yang kuat sebetulnya harus ditopang oleh komponen PMTB dan komponen ekspor. Komponen PMTB berkaitan erat dengan upaya meningkatkan produktivitas suatu daerah (belanja modal dan investasi). Sedangkan besarnya ekspor menunjukkan kekuatan daya saing suatu daerah terhadap daerah lain. Karena itu, untuk membentuk perekonomian Aceh yang kuat, Pemerintah Aceh harus memperhatikan kondisi ekspor dan PMTB kita. Saat ini kondisi ekspor Aceh semakin merosot. 

 Cari komoditas baru

Kepala BPS Aceh, Hermanto mengatakan bahwa sekitar 90% ekspor Aceh sangat bergantung pada migas, dan ini berdampak buruk apabila migas Aceh habis. Saat merilis PDRB triwulan I 2014 sebagaimana kita singgung di awal tulisan ini, Hermanto berpendapat bahwa Aceh harus segera mencari komoditas unggulan baru yang mampu menjadi komoditas ekspor unggulan. Komoditas baru itu diharapkan bisa menggantikan migas Aceh yang hampir habis sebagai penopang perekonomian Aceh.

Sebagai daerah yang memiliki potensi pertanian, Pemerintah Aceh bisa fokus pada komoditas pertanian agar memiliki nilai tambah yang lebih besar lagi, sehingga mampu menghasilkan komoditas ekspor yang bernilai tinggi. Bahkan, dalam satu kunjungan kerja ke Aceh Barat, Hermanto memberikan masukan kepada Pemkab setempat agar mampu meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian, seperti gabah. Menurutnya, saat ini jumlah gabah yang diproduksi Aceh dengan gabah yang digiling di Aceh perbandingannya jauh sekali jumlahnya. 

Hal itu, menurut Hermanto, menunjukan bahwa banyak sekali hasil gabah Aceh yang diolah di daerah lain. Ironisnya gabah yang sudah diolah tersebut kemungkinan akan kembali ke Aceh dalam bentuk beras bermerek. Tentunya harga beras tersebut lebih bernilai dibandingkan gabah yang dulunya kita ekspor ke daerah tetangga. Ini baru komoditas gabah, masih banyak lagi komoditas pertanian Aceh yang bisa diolah menjadi lebih bernilai.

Meski demikian, terlepas dari kondisi perekonomian Aceh yang saat ini bisa dikatakan rapuh, masih ada sisi baiknya. Sisi baik perekonomian Aceh saat ini adalah kondisi neraca perdagangan Aceh yang masih positif. Hal ini terlihat dari persentase komponen ekspor yang jauh lebih tinggi dibandingkan komponen impor. Kondisi yang sudah baik ini hendaknya bisa dipertahankan Aceh di masa yang akan datang. Semoga!

No comments:

Post a Comment