Akhir
tahun 2018 penduduk Indonesia dihebohkan dengan harga tiket pesawat domestik
yang naik cukup signifikan dari biasanya. Ironisnya, harga tiket pesawat
domestik lebih mahal dibandingkan tiket pesawat ke luar negeri.
Sebagian
orang berpendapat bahwa kenaikan tiket pesawat akhir tahun wajar terjadi akibat
libur panjang dalam rangka Natal dan Tahun Baru. Tentu saja menurut sudut
pandang ilmu ekonomi jelas bahwa ketika permintaan suatu barang dan jasa naik,
sedangkan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan tetap maka akan berdampak pada
kenaikan harga barang dan jasa yang ditawarkan. Namun rupanya pendapat itu
salah, sampai dengan pertengahan bulan Januari 2019 harga tiket pesawat
domestik masih diatas harga rata-rata di Tahun 2018. Bahkan beberapa maskapai penerbangan
menerapkan kebijakan bagasi berbayar yang semula gratis 10-20 Kg.
Badan
Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama Bulan Desember 2018 bahwa Inflasi
Indonesia sebesar 0,62 persen. Dalam konferensi pers, BPS tidak menyajikan
kenaikan transportasi dampak dari kenaikan tiket pesawat domestik. BPS hanya
menyajikan kelompok pengeluaran barang Transportasi, Komunikasi dan Jasa
Keuangan. Kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan naik
sebesar 1,28 persen. Kenaikan kelompok ini menempati rangking kedua setelah
kelompok pengeluaran bahan makanan yang naik sebesar 1,45 persen. Perlu
ditegaskan disini bahwa angka yang disajikan BPS tersebut adalah gabungan
kenaikan harga komoditas barang dan jasa pada sektor Transportasi, Komunikasi
dan Jasa Keuangan. Selain itu, angka tersebut muncul dengan pertimbangan bobot
konsumsi dari masyarakat Indonesia.
Berdasarkan
data inflasi yang dikemukakan BPS bisa kita lihat bahwa naiknya kelompok
pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan dipengaruhi oleh
kenaikan tiket pesawat domestik. Hal ini terlihat dari data yang dirilis BPS
pada bulan-bulan sebelumnya yang menunjukan bahwa sumbangan kelompok
pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan tidak terlalu dominan
jika dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya.
Kenaikan
harga tiket pesawat setidaknya sangat dikhawatirkan oleh para perantau.
Berdasarkan data BPS hasil Susenas 2017 menunjukan bahwa setidaknya sekitar
28,5 juta jiwa penduduk Indonesia berstatus migran. Para migran atau perantau
inilah yang biasanya menggunakan jasa pesawat terbang untuk sekedar menjenguk orang
tua atau bahkan menjaga silaturahmi dengan keluarga di tanah kelahiran. Dengan
asumsi seluruh penduduk Indonesia yang berstatus migran ini selalu menggunakan
pesawat terbang untuk pulang kampong, maka paling tidak 28,5 juta jiwa atau
lebih dari 10 persen penduduk Indonesia merasakan dampak dari kenaikan harga
tiket pesawat terbang.
Kenaikan
harga tiket pesawat terbang sebetulnya sudah bisa ditebak sejak jatuhnya
pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610 diwilayah perairan
Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Setelah melalu proses investigasi dan
evakuasi, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan bergerak cepat melakukan
beberapa langkah yang harus ditempuh. Selain menginstruksikan untuk
membebastugaskan direktur tekhnik Lion Air, Kemenhub juga fokus mengevaluasi
penerbangan bertarif murah atau biasa disebut Low Cost Carrier (LCC). Adapun yang menjadi perhatian khusus
Kemenhub pada saat itu adalah mengevaluasi batas bawah tarif penerbangan yang
rencananya akan dinaikan dari 30 persen dari batas atas menjadi 35 persen dari
batas atas.
Langkah-langkah
yang diambil Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebetulnya secara
keseluruhan perlu kita apresiasi. Kecepatan dalam mengeluarkan kebijakan dari
Kemenhub saat itu terbukti cukup efektif menyelesaikan kasus jatuhnya pesawat
Lion Air tersebut. Namun salah satu kebijakan Kemenhub yaitu menerapkan batas
bawah tarif pesawat sepertinya perlu dikaji ulang. Mari kita sejenak
merenungkan kembali tujuan utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) yang tidak lain dan tidak bukan adalah mewujudkan masyarakat yang adil
makmur dan sejahtera atau biasa disebut dengan Social Welfare. Sejatinya suatu masyarakat tanpa pemerintah dengan
sendirinya akan mencapai titik kesejahteraan sosial bagi semuanya, namun dengan
adanya pemerintah dalam hal ini adalah NKRI diharapkan Kesejahteraan Sosial
bisa lebih cepat dicapai.
Menurut
pendapat Lunsteds bahwa suatu masyarakat membutuhkan jaminan keamanan untuk
mencapai kesejahteraan sosial, sedangkan menurut Habermas
hal-hal yang perlu dilakukan Negara/pemerintah untuk rakyaknya agar mencapai
kesejahteraan sosial antara lain menjamin The risk of unemployment,
accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely
through welfare provisions of the state.
Berdasarkan
pendapat para ahli tersebut terlihat bahwa peran pemerintah dalam mewujudkan
kesejahteraan sosial tidak perlu dengan mengatur tarif batas bawah suatu jasa
yang digunakan banyak orang. Namun untuk kebijakan penerapan batas atas tarif
suatu barang dan jasa diperlukan untuk menghindari adanya kartel dari para
pedagang dan pengusaha.
Jika
pemerintah berdalih bahwa dengan penerapan batas bawah tarif maka akan sejalan
dengan peningkatan fasilitas yang akan diterima oleh masyarakat. Logika ini
menurut saya pribadi perlu diluruskan dan perlu dipertanyakan. Apakah dengan
naiknya batas bawah tiket pesawat terbang akan dijamin tidak akan ada pesawat
terbang yang jatuh lagi? Tentu saja jawabannya tidak, selama tidak ada
pengawasan yang intensif dari Kemenhub perihal kinerja dari para tekhnisi
pesawat terbang. Bisa jadi kenaikan tarif pesawat terbang hanya akan menebalkan
surplus usaha dari perusahaan pesawat terbang namun tidak diikuti dengan
peningkatan kualitas dan keamanan penerbangan.
No comments:
Post a Comment