Monday, January 28, 2019

Harga Tiket Pesawat dan Social Welfare


Akhir tahun 2018 penduduk Indonesia dihebohkan dengan harga tiket pesawat domestik yang naik cukup signifikan dari biasanya. Ironisnya, harga tiket pesawat domestik lebih mahal dibandingkan tiket pesawat ke luar negeri. 

Sebagian orang berpendapat bahwa kenaikan tiket pesawat akhir tahun wajar terjadi akibat libur panjang dalam rangka Natal dan Tahun Baru. Tentu saja menurut sudut pandang ilmu ekonomi jelas bahwa ketika permintaan suatu barang dan jasa naik, sedangkan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan tetap maka akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa yang ditawarkan. Namun rupanya pendapat itu salah, sampai dengan pertengahan bulan Januari 2019 harga tiket pesawat domestik masih diatas harga rata-rata di Tahun 2018. Bahkan beberapa maskapai penerbangan menerapkan kebijakan bagasi berbayar yang semula gratis 10-20 Kg.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama Bulan Desember 2018 bahwa Inflasi Indonesia sebesar 0,62 persen. Dalam konferensi pers, BPS tidak menyajikan kenaikan transportasi dampak dari kenaikan tiket pesawat domestik. BPS hanya menyajikan kelompok pengeluaran barang Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan. Kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan naik sebesar 1,28 persen. Kenaikan kelompok ini menempati rangking kedua setelah kelompok pengeluaran bahan makanan yang naik sebesar 1,45 persen. Perlu ditegaskan disini bahwa angka yang disajikan BPS tersebut adalah gabungan kenaikan harga komoditas barang dan jasa pada sektor Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan. Selain itu, angka tersebut muncul dengan pertimbangan bobot konsumsi dari masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data inflasi yang dikemukakan BPS bisa kita lihat bahwa naiknya kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan dipengaruhi oleh kenaikan tiket pesawat domestik. Hal ini terlihat dari data yang dirilis BPS pada bulan-bulan sebelumnya yang menunjukan bahwa sumbangan kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan tidak terlalu dominan jika dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya.

Kenaikan harga tiket pesawat setidaknya sangat dikhawatirkan oleh para perantau. Berdasarkan data BPS hasil Susenas 2017 menunjukan bahwa setidaknya sekitar 28,5 juta jiwa penduduk Indonesia berstatus migran. Para migran atau perantau inilah yang biasanya menggunakan jasa pesawat terbang untuk sekedar menjenguk orang tua atau bahkan menjaga silaturahmi dengan keluarga di tanah kelahiran. Dengan asumsi seluruh penduduk Indonesia yang berstatus migran ini selalu menggunakan pesawat terbang untuk pulang kampong, maka paling tidak 28,5 juta jiwa atau lebih dari 10 persen penduduk Indonesia merasakan dampak dari kenaikan harga tiket pesawat terbang.

Kenaikan harga tiket pesawat terbang sebetulnya sudah bisa ditebak sejak jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610 diwilayah perairan Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Setelah melalu proses investigasi dan evakuasi, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan bergerak cepat melakukan beberapa langkah yang harus ditempuh. Selain menginstruksikan untuk membebastugaskan direktur tekhnik Lion Air, Kemenhub juga fokus mengevaluasi penerbangan bertarif murah atau biasa disebut Low Cost Carrier (LCC). Adapun yang menjadi perhatian khusus Kemenhub pada saat itu adalah mengevaluasi batas bawah tarif penerbangan yang rencananya akan dinaikan dari 30 persen dari batas atas menjadi 35 persen dari batas atas.

Langkah-langkah yang diambil Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebetulnya secara keseluruhan perlu kita apresiasi. Kecepatan dalam mengeluarkan kebijakan dari Kemenhub saat itu terbukti cukup efektif menyelesaikan kasus jatuhnya pesawat Lion Air tersebut. Namun salah satu kebijakan Kemenhub yaitu menerapkan batas bawah tarif pesawat sepertinya perlu dikaji ulang. Mari kita sejenak merenungkan kembali tujuan utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak lain dan tidak bukan adalah mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera atau biasa disebut dengan Social Welfare. Sejatinya suatu masyarakat tanpa pemerintah dengan sendirinya akan mencapai titik kesejahteraan sosial bagi semuanya, namun dengan adanya pemerintah dalam hal ini adalah NKRI diharapkan Kesejahteraan Sosial bisa lebih cepat dicapai.

Menurut pendapat Lunsteds bahwa suatu masyarakat membutuhkan jaminan keamanan untuk mencapai kesejahteraan sosial, sedangkan menurut Habermas hal-hal yang perlu dilakukan Negara/pemerintah untuk rakyaknya agar mencapai kesejahteraan sosial antara lain menjamin The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut terlihat bahwa peran pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial tidak perlu dengan mengatur tarif batas bawah suatu jasa yang digunakan banyak orang. Namun untuk kebijakan penerapan batas atas tarif suatu barang dan jasa diperlukan untuk menghindari adanya kartel dari para pedagang dan pengusaha.

Jika pemerintah berdalih bahwa dengan penerapan batas bawah tarif maka akan sejalan dengan peningkatan fasilitas yang akan diterima oleh masyarakat. Logika ini menurut saya pribadi perlu diluruskan dan perlu dipertanyakan. Apakah dengan naiknya batas bawah tiket pesawat terbang akan dijamin tidak akan ada pesawat terbang yang jatuh lagi? Tentu saja jawabannya tidak, selama tidak ada pengawasan yang intensif dari Kemenhub perihal kinerja dari para tekhnisi pesawat terbang. Bisa jadi kenaikan tarif pesawat terbang hanya akan menebalkan surplus usaha dari perusahaan pesawat terbang namun tidak diikuti dengan peningkatan kualitas dan keamanan penerbangan. 

Semoga kedepannya Kemenhub benar-benar mengevalusi kenaikan tarif pesawat terbang domestik. Sesuai dengan teori Social Welfare dimana harga paling ideal yang menguntungkan perusahaan dan masyarakat akan tercipta tanpa campur tangan pemerintah. Maka dari itu perlu dipertegas lagi bahwa nasib sekitar 10 persen penduduk Indonesia bergantung dari kebijakan yang dikeluarkan Kemenhub perihal tarif pesawat terbang. Dan perlu diingatkan kembali bahwa kebijakan pemerintah sudah semestinya berpihak kepada rakyat bukan kepada perusahaan demi terwujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

No comments:

Post a Comment

Harga Tiket Pesawat dan Social Welfare


Akhir tahun 2018 penduduk Indonesia dihebohkan dengan harga tiket pesawat domestik yang naik cukup signifikan dari biasanya. Ironisnya, harga tiket pesawat domestik lebih mahal dibandingkan tiket pesawat ke luar negeri. 

Sebagian orang berpendapat bahwa kenaikan tiket pesawat akhir tahun wajar terjadi akibat libur panjang dalam rangka Natal dan Tahun Baru. Tentu saja menurut sudut pandang ilmu ekonomi jelas bahwa ketika permintaan suatu barang dan jasa naik, sedangkan jumlah barang dan jasa yang ditawarkan tetap maka akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa yang ditawarkan. Namun rupanya pendapat itu salah, sampai dengan pertengahan bulan Januari 2019 harga tiket pesawat domestik masih diatas harga rata-rata di Tahun 2018. Bahkan beberapa maskapai penerbangan menerapkan kebijakan bagasi berbayar yang semula gratis 10-20 Kg.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa selama Bulan Desember 2018 bahwa Inflasi Indonesia sebesar 0,62 persen. Dalam konferensi pers, BPS tidak menyajikan kenaikan transportasi dampak dari kenaikan tiket pesawat domestik. BPS hanya menyajikan kelompok pengeluaran barang Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan. Kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan naik sebesar 1,28 persen. Kenaikan kelompok ini menempati rangking kedua setelah kelompok pengeluaran bahan makanan yang naik sebesar 1,45 persen. Perlu ditegaskan disini bahwa angka yang disajikan BPS tersebut adalah gabungan kenaikan harga komoditas barang dan jasa pada sektor Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan. Selain itu, angka tersebut muncul dengan pertimbangan bobot konsumsi dari masyarakat Indonesia.

Berdasarkan data inflasi yang dikemukakan BPS bisa kita lihat bahwa naiknya kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan dipengaruhi oleh kenaikan tiket pesawat domestik. Hal ini terlihat dari data yang dirilis BPS pada bulan-bulan sebelumnya yang menunjukan bahwa sumbangan kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi dan Jasa Keuangan tidak terlalu dominan jika dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya.

Kenaikan harga tiket pesawat setidaknya sangat dikhawatirkan oleh para perantau. Berdasarkan data BPS hasil Susenas 2017 menunjukan bahwa setidaknya sekitar 28,5 juta jiwa penduduk Indonesia berstatus migran. Para migran atau perantau inilah yang biasanya menggunakan jasa pesawat terbang untuk sekedar menjenguk orang tua atau bahkan menjaga silaturahmi dengan keluarga di tanah kelahiran. Dengan asumsi seluruh penduduk Indonesia yang berstatus migran ini selalu menggunakan pesawat terbang untuk pulang kampong, maka paling tidak 28,5 juta jiwa atau lebih dari 10 persen penduduk Indonesia merasakan dampak dari kenaikan harga tiket pesawat terbang.

Kenaikan harga tiket pesawat terbang sebetulnya sudah bisa ditebak sejak jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610 diwilayah perairan Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Setelah melalu proses investigasi dan evakuasi, Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan bergerak cepat melakukan beberapa langkah yang harus ditempuh. Selain menginstruksikan untuk membebastugaskan direktur tekhnik Lion Air, Kemenhub juga fokus mengevaluasi penerbangan bertarif murah atau biasa disebut Low Cost Carrier (LCC). Adapun yang menjadi perhatian khusus Kemenhub pada saat itu adalah mengevaluasi batas bawah tarif penerbangan yang rencananya akan dinaikan dari 30 persen dari batas atas menjadi 35 persen dari batas atas.

Langkah-langkah yang diambil Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebetulnya secara keseluruhan perlu kita apresiasi. Kecepatan dalam mengeluarkan kebijakan dari Kemenhub saat itu terbukti cukup efektif menyelesaikan kasus jatuhnya pesawat Lion Air tersebut. Namun salah satu kebijakan Kemenhub yaitu menerapkan batas bawah tarif pesawat sepertinya perlu dikaji ulang. Mari kita sejenak merenungkan kembali tujuan utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak lain dan tidak bukan adalah mewujudkan masyarakat yang adil makmur dan sejahtera atau biasa disebut dengan Social Welfare. Sejatinya suatu masyarakat tanpa pemerintah dengan sendirinya akan mencapai titik kesejahteraan sosial bagi semuanya, namun dengan adanya pemerintah dalam hal ini adalah NKRI diharapkan Kesejahteraan Sosial bisa lebih cepat dicapai.

Menurut pendapat Lunsteds bahwa suatu masyarakat membutuhkan jaminan keamanan untuk mencapai kesejahteraan sosial, sedangkan menurut Habermas hal-hal yang perlu dilakukan Negara/pemerintah untuk rakyaknya agar mencapai kesejahteraan sosial antara lain menjamin The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut terlihat bahwa peran pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial tidak perlu dengan mengatur tarif batas bawah suatu jasa yang digunakan banyak orang. Namun untuk kebijakan penerapan batas atas tarif suatu barang dan jasa diperlukan untuk menghindari adanya kartel dari para pedagang dan pengusaha.

Jika pemerintah berdalih bahwa dengan penerapan batas bawah tarif maka akan sejalan dengan peningkatan fasilitas yang akan diterima oleh masyarakat. Logika ini menurut saya pribadi perlu diluruskan dan perlu dipertanyakan. Apakah dengan naiknya batas bawah tiket pesawat terbang akan dijamin tidak akan ada pesawat terbang yang jatuh lagi? Tentu saja jawabannya tidak, selama tidak ada pengawasan yang intensif dari Kemenhub perihal kinerja dari para tekhnisi pesawat terbang. Bisa jadi kenaikan tarif pesawat terbang hanya akan menebalkan surplus usaha dari perusahaan pesawat terbang namun tidak diikuti dengan peningkatan kualitas dan keamanan penerbangan. 

Semoga kedepannya Kemenhub benar-benar mengevalusi kenaikan tarif pesawat terbang domestik. Sesuai dengan teori Social Welfare dimana harga paling ideal yang menguntungkan perusahaan dan masyarakat akan tercipta tanpa campur tangan pemerintah. Maka dari itu perlu dipertegas lagi bahwa nasib sekitar 10 persen penduduk Indonesia bergantung dari kebijakan yang dikeluarkan Kemenhub perihal tarif pesawat terbang. Dan perlu diingatkan kembali bahwa kebijakan pemerintah sudah semestinya berpihak kepada rakyat bukan kepada perusahaan demi terwujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

No comments:

Post a Comment