Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2018 terus menggelar operasi tangkap tangan
terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pelakunya mayoritas adalah penyelengara
Negara dilevel daerah, namun tidak sedikit pelaku yang berasal dari kalangan
pengusaha.
Bupati, Walikota,
Gubernur bahkan mantan Ketua DPR yang saat itu menjabat definitif sebagai Ketua
DPR RI juga tidak luput dari bidikan KPK. OTT demi OTT yang dilakukan KPK
sepertinya belum menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan calon pelaku
korupsi.
Berdasarkan hasil
bidikan OTT KPK selama ini, seakan-akan KPK ingin memberikan efek kejut untuk
beberapa kriteria yang biasanya menjadi biang korupsi. Sebagai contoh adalah
penangkapan secara masal anggota DPRD Kota Malang. Penangkapan 41 anggota dari
total 45 anggota DPRD Kota Malang terkait kasus suap pembahasan P-APBD Kota
Malang tahun anggaran 2015 ini menunjukan bahwa korupsi berjamaah seperti ini
juga tetap akan disikat oleh KPK.
Kasus lain yang menjadi
perhatian publik adalah perihal praktek jual beli jabatan dan gratifikasi dilingkungan Pemerintah Daerah
Klaten yang dilakukan oleh Bupati Klaten Sri Hartini. Dalam kasus ini KPK juga
ingin memperingatkan secara halus kepada 513 Bupati dan walikota seluruh Indonesia
serta 34 Gubernur agar jangan sekali-sekali menerima gratifikasi dalam bentuk
apapun untuk mengisi jabatan dilingkungan pemerintah daerah dilingkungan
masing-masing. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan kepala daerah sering
mengganti dan merotasi pejabatnya dengan alasan penyegaran organisasi.
Dirasakan belum cukup,
KPK juga melakukan OTT terhadap pejabat Negara level Gubernur seperti Gubernur
Provinsi Jambi Zumi Zola dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Seperti kasus Bupati
Klaten, KPK juga ingin menegaskan kembali kepada para Kepala daerah bahwa
segala bentuk gratifikasi dan suap akan terus dipantau oleh KPK. Jika
kedepannya masih ada kepala daerah yang nekat menerima gratifikasi dan suap
maka mereka dipastikan akan menyusul deretan kepala daerah seperti Ratu Atut,
Gatot, Zumi Zila, Irwandi Yusuf dan lain-lain masuk kedalam jeruji besi.
Harapan efek jera
rupanya tidak berhasil, kasus korupsi dengan kriteria yang sama terus berulang.
Kepala daerah seakan-akan menanti giliran untuk menjadi pasien lembaga anti
rasuah ini. Terakhir diujung tahun 2018 ini KPK menangkap beberapa pejabat
dilingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat perihal kasus suap
proyek penjernihan air minum yang dalam kasus ini juga menyeret salah satu
kepala daerah yaitu Bupati Phakpak Barat Provinsi Sumatera Utara. Bahkan yang
lebih parah lagi adalah kasus suap penjernihan air minum ini juga terjadi untuk
wilayah bencana di Palu dan Donggala. Kasus korupsi yang menyangkut wilayah
bencana memunculkan wacana hukuman mati bagi pelakunya.
Pengulangan kasus
korupsi yang terus terjadi membuat kita berfikir bahwa korupsi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia sudah mendarah daging. Menurut juru bicara KPK
Febri Diansyah kepada Kompas.com menuturkan bahwa korupsi yang dilakukan kepala
daerah dan para politikus yang sudah duduk menjadi anggota dewan akibat ongkos
yang tinggi dalam proses demokrasi seperti mahar politik dan adanya politik
uang dalam proses pemilihan.
Benarkah korupsi akibat
biaya yang mahal dalam proses demokrasi? Atau jangan-jangan korupsi sudah
menjadi budaya bagi sebagian masyarakat Indonesia. Untuk mengetahui hal
tersebut, sejak tahun 2012 Badan Pusat Statistik mendapatkan amanah melakukan
studi mengenai sikap anti korupsi masyarakat Indonesia melalui peraturan
presiden No 52 tahun 2012 tentang strategi nasional pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Survei ini rutin dilakukan setiap tahunnya, kecuali
tahun 2016 tidak dilaksanakan.
Dalam mengukur perilaku
korupsi masyarakat Indonesia, BPS mengukur berdasarkan persepsi masyarakat
serta pengalaman masyarakat. Sudut pandang persepsi masyarakat diukur
berdasarkan lingkup keluarga, lingkup komunitas dan lingkup publik. Sudut
pandang pengalaman masyarakat mengukur berdasarkan pengalaman masyarakat
mengakses 10 pelayanan publik yang disediakan pemerintah. Sepuluh pelayanan publik tersebut yaitu pengurus RT/RW,
kelurahan/kecamatan, kepolisian, Perusahaan Listrik Negara (PLN), layanan
kesehatan, sekolah negeri, pengadilan, Kantor Urusan Agama (KUA), Kependudukan
dan Catatan Sipil (Dukcapil), dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Hasil pendataan yang
dilaksanakan BPS tersebut cukup mengejutkan. Banyak aspek-aspek yang diukur
dalam survei tersebut mencerminkan pemakluman masyarakat Indonesia terhadap
perilaku korupsi. Meskipun angka IPAK sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2018
menunjukan angka yang semakin baik. Perlu diketahui bahwa secara umum BPS
menyajikan perilaku anti korupsi masyarakat Indonesia menjadi satu angka yaitu
IPAK (Indeks Perilaku Anti Korupsi). Angka IPAK tahun 2018 sebesar 3,66
sedangkan tahun 2012 pertama kali IPAK dihitung menunjukan angka 3,55, semakin
mendekati 5 maka perilaku masyarakat Indonesia semakin antikorupsi.
Persepsi masyarakat
Indonesia terhadap perilaku korupsi sebetulnya sudah menunjukan bahwa mayoritas
masyarakat Indonesia adalah antikorupsi. Namun berdasarkan lingkup keluarga
masih ada sekitar 23 persen istri-istri yang menganggap wajar tidak perlu
menanyakan asal usul tambahan penghasilan diluar gaji rutin, selain itu sekitar
21 persen masyarakat juga masih menganggap wajar seorang pegawai negeri sipil
menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi. Mungkin sebagian dari
kita akan berfikir bahwa 21 persen tersebut adalah persepsi dari PNS itu
sendiri, namun perlu diketahui bahwa jumlah PNS di Indonesia adalah sekitar 4,3
juta jiwa atau sekitar 2 persen dari penduduk Indonesia. Dengan data tersebut
menunjukan bahwa ada sekitar 19 persen masyarakat Indonesia bukan PNS yang
memaklumi para PNS menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi.
Beranjak ke lingkup
komunitas, hasil survei BPS pada tahun 2018 ini cukup mencengangkan. Hampir 30
persen masyarakat Indonesia memaklumi dan menganggap wajar memberikan uang
kepada Kades/RW/RT pada saat hari raya keagamaan. Selain itu, masyarakat juga
menganggap wajar memberikan sejumlah uang kepada Kades/RW/RT apabila suatu
keluarga mengadakan hajatan.
Hasil yang kurang baik
juga ditunjukan persepsi masyarakat Indonesia berdasarkan lingkup publik.
Sekitar 31 persen masyarakat menganggap wajar demi menjaga
persaudaraan/pertemanan seseorang menjamin keluarga maupun teman untuk diterima
sebagai PNS/Swasta, dengan persentase yang sama masyarakat Indonesia juga
menganggap wajar memberikan uang lebih untuk mempercepat urusan administrasi
(KTP dan KK). Dan yang lebih parah lagi adalah sekitar 20 persen masyarakat
Indonesia mengharapkan uang atau barang pada saat pilkades maupun pilkada dan
tentu saja mereka juga memaklumi perbuatan pemberian uang atau barang tersebut
kepada masyarakat.
Berdasarkan pengalaman
yang dijalani masyarakat Indonesia mengakses pelayanan publik di Indonesia
menunjukan bahwa Pelayanan PLN, RT/RW dan Kepala Desa menempati tiga besar
masyarakat Indonesia membayar lebih dari ketentuan yang ada. Sedangkan
pelayanan publik seperti Peradilan, Polisi, Disdukcapil dan layanan kesehatan
kasus masyarakat membayar lebih dari ketentuan yang ada kurang dari 10 persen.
No comments:
Post a Comment