Monday, January 28, 2019

Budaya Korupsi Masyarakat Indonesia


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2018 terus menggelar operasi tangkap tangan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pelakunya mayoritas adalah penyelengara Negara dilevel daerah, namun tidak sedikit pelaku yang berasal dari kalangan pengusaha.

Bupati, Walikota, Gubernur bahkan mantan Ketua DPR yang saat itu menjabat definitif sebagai Ketua DPR RI juga tidak luput dari bidikan KPK. OTT demi OTT yang dilakukan KPK sepertinya belum menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan calon pelaku korupsi.

Berdasarkan hasil bidikan OTT KPK selama ini, seakan-akan KPK ingin memberikan efek kejut untuk beberapa kriteria yang biasanya menjadi biang korupsi. Sebagai contoh adalah penangkapan secara masal anggota DPRD Kota Malang. Penangkapan 41 anggota dari total 45 anggota DPRD Kota Malang terkait kasus suap pembahasan P-APBD Kota Malang tahun anggaran 2015 ini menunjukan bahwa korupsi berjamaah seperti ini juga tetap akan disikat oleh KPK.

Kasus lain yang menjadi perhatian publik adalah perihal praktek jual beli jabatan  dan gratifikasi dilingkungan Pemerintah Daerah Klaten yang dilakukan oleh Bupati Klaten Sri Hartini. Dalam kasus ini KPK juga ingin memperingatkan secara halus kepada 513 Bupati dan walikota seluruh Indonesia serta 34 Gubernur agar jangan sekali-sekali menerima gratifikasi dalam bentuk apapun untuk mengisi jabatan dilingkungan pemerintah daerah dilingkungan masing-masing. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan kepala daerah sering mengganti dan merotasi pejabatnya dengan alasan penyegaran organisasi.

Dirasakan belum cukup, KPK juga melakukan OTT terhadap pejabat Negara level Gubernur seperti Gubernur Provinsi Jambi Zumi Zola dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Seperti kasus Bupati Klaten, KPK juga ingin menegaskan kembali kepada para Kepala daerah bahwa segala bentuk gratifikasi dan suap akan terus dipantau oleh KPK. Jika kedepannya masih ada kepala daerah yang nekat menerima gratifikasi dan suap maka mereka dipastikan akan menyusul deretan kepala daerah seperti Ratu Atut, Gatot, Zumi Zila, Irwandi Yusuf dan lain-lain masuk kedalam jeruji besi.

Harapan efek jera rupanya tidak berhasil, kasus korupsi dengan kriteria yang sama terus berulang. Kepala daerah seakan-akan menanti giliran untuk menjadi pasien lembaga anti rasuah ini. Terakhir diujung tahun 2018 ini KPK menangkap beberapa pejabat dilingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat perihal kasus suap proyek penjernihan air minum yang dalam kasus ini juga menyeret salah satu kepala daerah yaitu Bupati Phakpak Barat Provinsi Sumatera Utara. Bahkan yang lebih parah lagi adalah kasus suap penjernihan air minum ini juga terjadi untuk wilayah bencana di Palu dan Donggala. Kasus korupsi yang menyangkut wilayah bencana memunculkan wacana hukuman mati bagi pelakunya.

Pengulangan kasus korupsi yang terus terjadi membuat kita berfikir bahwa korupsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah mendarah daging. Menurut juru bicara KPK Febri Diansyah kepada Kompas.com menuturkan bahwa korupsi yang dilakukan kepala daerah dan para politikus yang sudah duduk menjadi anggota dewan akibat ongkos yang tinggi dalam proses demokrasi seperti mahar politik dan adanya politik uang dalam proses pemilihan. 

Benarkah korupsi akibat biaya yang mahal dalam proses demokrasi? Atau jangan-jangan korupsi sudah menjadi budaya bagi sebagian masyarakat Indonesia. Untuk mengetahui hal tersebut, sejak tahun 2012 Badan Pusat Statistik mendapatkan amanah melakukan studi mengenai sikap anti korupsi masyarakat Indonesia melalui peraturan presiden No 52 tahun 2012 tentang strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi. Survei ini rutin dilakukan setiap tahunnya, kecuali tahun 2016 tidak dilaksanakan.

Dalam mengukur perilaku korupsi masyarakat Indonesia, BPS mengukur berdasarkan persepsi masyarakat serta pengalaman masyarakat. Sudut pandang persepsi masyarakat diukur berdasarkan lingkup keluarga, lingkup komunitas dan lingkup publik. Sudut pandang pengalaman masyarakat mengukur berdasarkan pengalaman masyarakat mengakses 10 pelayanan publik yang disediakan pemerintah. Sepuluh pelayanan publik tersebut yaitu pengurus RT/RW, kelurahan/kecamatan, kepolisian, Perusahaan Listrik Negara (PLN), layanan kesehatan, sekolah negeri, pengadilan, Kantor Urusan Agama (KUA), Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Hasil pendataan yang dilaksanakan BPS tersebut cukup mengejutkan. Banyak aspek-aspek yang diukur dalam survei tersebut mencerminkan pemakluman masyarakat Indonesia terhadap perilaku korupsi. Meskipun angka IPAK sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2018 menunjukan angka yang semakin baik. Perlu diketahui bahwa secara umum BPS menyajikan perilaku anti korupsi masyarakat Indonesia menjadi satu angka yaitu IPAK (Indeks Perilaku Anti Korupsi). Angka IPAK tahun 2018 sebesar 3,66 sedangkan tahun 2012 pertama kali IPAK dihitung menunjukan angka 3,55, semakin mendekati 5 maka perilaku masyarakat Indonesia semakin antikorupsi.

Persepsi masyarakat Indonesia terhadap perilaku korupsi sebetulnya sudah menunjukan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah antikorupsi. Namun berdasarkan lingkup keluarga masih ada sekitar 23 persen istri-istri yang menganggap wajar tidak perlu menanyakan asal usul tambahan penghasilan diluar gaji rutin, selain itu sekitar 21 persen masyarakat juga masih menganggap wajar seorang pegawai negeri sipil menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi. Mungkin sebagian dari kita akan berfikir bahwa 21 persen tersebut adalah persepsi dari PNS itu sendiri, namun perlu diketahui bahwa jumlah PNS di Indonesia adalah sekitar 4,3 juta jiwa atau sekitar 2 persen dari penduduk Indonesia. Dengan data tersebut menunjukan bahwa ada sekitar 19 persen masyarakat Indonesia bukan PNS yang memaklumi para PNS menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi.

Beranjak ke lingkup komunitas, hasil survei BPS pada tahun 2018 ini cukup mencengangkan. Hampir 30 persen masyarakat Indonesia memaklumi dan menganggap wajar memberikan uang kepada Kades/RW/RT pada saat hari raya keagamaan. Selain itu, masyarakat juga menganggap wajar memberikan sejumlah uang kepada Kades/RW/RT apabila suatu keluarga mengadakan hajatan.

Hasil yang kurang baik juga ditunjukan persepsi masyarakat Indonesia berdasarkan lingkup publik. Sekitar 31 persen masyarakat menganggap wajar demi menjaga persaudaraan/pertemanan seseorang menjamin keluarga maupun teman untuk diterima sebagai PNS/Swasta, dengan persentase yang sama masyarakat Indonesia juga menganggap wajar memberikan uang lebih untuk mempercepat urusan administrasi (KTP dan KK). Dan yang lebih parah lagi adalah sekitar 20 persen masyarakat Indonesia mengharapkan uang atau barang pada saat pilkades maupun pilkada dan tentu saja mereka juga memaklumi perbuatan pemberian uang atau barang tersebut kepada masyarakat.

Berdasarkan pengalaman yang dijalani masyarakat Indonesia mengakses pelayanan publik di Indonesia menunjukan bahwa Pelayanan PLN, RT/RW dan Kepala Desa menempati tiga besar masyarakat Indonesia membayar lebih dari ketentuan yang ada. Sedangkan pelayanan publik seperti Peradilan, Polisi, Disdukcapil dan layanan kesehatan kasus masyarakat membayar lebih dari ketentuan yang ada kurang dari 10 persen.

Berdasarkan survei yang dilaksanakan BPS bisa kita ambil kesimpulan bahwa masih ada sekitar 20-30 persen masyarakat Indonesia yang memiliki benih-benih korupsi. Dan tentu saja ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama agar 100 persen masyarakat Indonesia adalah anti korupsi. Sedangkan pelayanan publik seperti PLN, RT/RW serta Kepala Desa masih harus diperbaiki kinerjanya untuk lebih perhatian terhadap antikorupsi.

No comments:

Post a Comment

Budaya Korupsi Masyarakat Indonesia


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sepanjang tahun 2018 terus menggelar operasi tangkap tangan terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Pelakunya mayoritas adalah penyelengara Negara dilevel daerah, namun tidak sedikit pelaku yang berasal dari kalangan pengusaha.

Bupati, Walikota, Gubernur bahkan mantan Ketua DPR yang saat itu menjabat definitif sebagai Ketua DPR RI juga tidak luput dari bidikan KPK. OTT demi OTT yang dilakukan KPK sepertinya belum menimbulkan efek jera bagi para pelaku dan calon pelaku korupsi.

Berdasarkan hasil bidikan OTT KPK selama ini, seakan-akan KPK ingin memberikan efek kejut untuk beberapa kriteria yang biasanya menjadi biang korupsi. Sebagai contoh adalah penangkapan secara masal anggota DPRD Kota Malang. Penangkapan 41 anggota dari total 45 anggota DPRD Kota Malang terkait kasus suap pembahasan P-APBD Kota Malang tahun anggaran 2015 ini menunjukan bahwa korupsi berjamaah seperti ini juga tetap akan disikat oleh KPK.

Kasus lain yang menjadi perhatian publik adalah perihal praktek jual beli jabatan  dan gratifikasi dilingkungan Pemerintah Daerah Klaten yang dilakukan oleh Bupati Klaten Sri Hartini. Dalam kasus ini KPK juga ingin memperingatkan secara halus kepada 513 Bupati dan walikota seluruh Indonesia serta 34 Gubernur agar jangan sekali-sekali menerima gratifikasi dalam bentuk apapun untuk mengisi jabatan dilingkungan pemerintah daerah dilingkungan masing-masing. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan kepala daerah sering mengganti dan merotasi pejabatnya dengan alasan penyegaran organisasi.

Dirasakan belum cukup, KPK juga melakukan OTT terhadap pejabat Negara level Gubernur seperti Gubernur Provinsi Jambi Zumi Zola dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Seperti kasus Bupati Klaten, KPK juga ingin menegaskan kembali kepada para Kepala daerah bahwa segala bentuk gratifikasi dan suap akan terus dipantau oleh KPK. Jika kedepannya masih ada kepala daerah yang nekat menerima gratifikasi dan suap maka mereka dipastikan akan menyusul deretan kepala daerah seperti Ratu Atut, Gatot, Zumi Zila, Irwandi Yusuf dan lain-lain masuk kedalam jeruji besi.

Harapan efek jera rupanya tidak berhasil, kasus korupsi dengan kriteria yang sama terus berulang. Kepala daerah seakan-akan menanti giliran untuk menjadi pasien lembaga anti rasuah ini. Terakhir diujung tahun 2018 ini KPK menangkap beberapa pejabat dilingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat perihal kasus suap proyek penjernihan air minum yang dalam kasus ini juga menyeret salah satu kepala daerah yaitu Bupati Phakpak Barat Provinsi Sumatera Utara. Bahkan yang lebih parah lagi adalah kasus suap penjernihan air minum ini juga terjadi untuk wilayah bencana di Palu dan Donggala. Kasus korupsi yang menyangkut wilayah bencana memunculkan wacana hukuman mati bagi pelakunya.

Pengulangan kasus korupsi yang terus terjadi membuat kita berfikir bahwa korupsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah mendarah daging. Menurut juru bicara KPK Febri Diansyah kepada Kompas.com menuturkan bahwa korupsi yang dilakukan kepala daerah dan para politikus yang sudah duduk menjadi anggota dewan akibat ongkos yang tinggi dalam proses demokrasi seperti mahar politik dan adanya politik uang dalam proses pemilihan. 

Benarkah korupsi akibat biaya yang mahal dalam proses demokrasi? Atau jangan-jangan korupsi sudah menjadi budaya bagi sebagian masyarakat Indonesia. Untuk mengetahui hal tersebut, sejak tahun 2012 Badan Pusat Statistik mendapatkan amanah melakukan studi mengenai sikap anti korupsi masyarakat Indonesia melalui peraturan presiden No 52 tahun 2012 tentang strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi. Survei ini rutin dilakukan setiap tahunnya, kecuali tahun 2016 tidak dilaksanakan.

Dalam mengukur perilaku korupsi masyarakat Indonesia, BPS mengukur berdasarkan persepsi masyarakat serta pengalaman masyarakat. Sudut pandang persepsi masyarakat diukur berdasarkan lingkup keluarga, lingkup komunitas dan lingkup publik. Sudut pandang pengalaman masyarakat mengukur berdasarkan pengalaman masyarakat mengakses 10 pelayanan publik yang disediakan pemerintah. Sepuluh pelayanan publik tersebut yaitu pengurus RT/RW, kelurahan/kecamatan, kepolisian, Perusahaan Listrik Negara (PLN), layanan kesehatan, sekolah negeri, pengadilan, Kantor Urusan Agama (KUA), Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Hasil pendataan yang dilaksanakan BPS tersebut cukup mengejutkan. Banyak aspek-aspek yang diukur dalam survei tersebut mencerminkan pemakluman masyarakat Indonesia terhadap perilaku korupsi. Meskipun angka IPAK sejak tahun 2012 sampai dengan tahun 2018 menunjukan angka yang semakin baik. Perlu diketahui bahwa secara umum BPS menyajikan perilaku anti korupsi masyarakat Indonesia menjadi satu angka yaitu IPAK (Indeks Perilaku Anti Korupsi). Angka IPAK tahun 2018 sebesar 3,66 sedangkan tahun 2012 pertama kali IPAK dihitung menunjukan angka 3,55, semakin mendekati 5 maka perilaku masyarakat Indonesia semakin antikorupsi.

Persepsi masyarakat Indonesia terhadap perilaku korupsi sebetulnya sudah menunjukan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia adalah antikorupsi. Namun berdasarkan lingkup keluarga masih ada sekitar 23 persen istri-istri yang menganggap wajar tidak perlu menanyakan asal usul tambahan penghasilan diluar gaji rutin, selain itu sekitar 21 persen masyarakat juga masih menganggap wajar seorang pegawai negeri sipil menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi. Mungkin sebagian dari kita akan berfikir bahwa 21 persen tersebut adalah persepsi dari PNS itu sendiri, namun perlu diketahui bahwa jumlah PNS di Indonesia adalah sekitar 4,3 juta jiwa atau sekitar 2 persen dari penduduk Indonesia. Dengan data tersebut menunjukan bahwa ada sekitar 19 persen masyarakat Indonesia bukan PNS yang memaklumi para PNS menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi.

Beranjak ke lingkup komunitas, hasil survei BPS pada tahun 2018 ini cukup mencengangkan. Hampir 30 persen masyarakat Indonesia memaklumi dan menganggap wajar memberikan uang kepada Kades/RW/RT pada saat hari raya keagamaan. Selain itu, masyarakat juga menganggap wajar memberikan sejumlah uang kepada Kades/RW/RT apabila suatu keluarga mengadakan hajatan.

Hasil yang kurang baik juga ditunjukan persepsi masyarakat Indonesia berdasarkan lingkup publik. Sekitar 31 persen masyarakat menganggap wajar demi menjaga persaudaraan/pertemanan seseorang menjamin keluarga maupun teman untuk diterima sebagai PNS/Swasta, dengan persentase yang sama masyarakat Indonesia juga menganggap wajar memberikan uang lebih untuk mempercepat urusan administrasi (KTP dan KK). Dan yang lebih parah lagi adalah sekitar 20 persen masyarakat Indonesia mengharapkan uang atau barang pada saat pilkades maupun pilkada dan tentu saja mereka juga memaklumi perbuatan pemberian uang atau barang tersebut kepada masyarakat.

Berdasarkan pengalaman yang dijalani masyarakat Indonesia mengakses pelayanan publik di Indonesia menunjukan bahwa Pelayanan PLN, RT/RW dan Kepala Desa menempati tiga besar masyarakat Indonesia membayar lebih dari ketentuan yang ada. Sedangkan pelayanan publik seperti Peradilan, Polisi, Disdukcapil dan layanan kesehatan kasus masyarakat membayar lebih dari ketentuan yang ada kurang dari 10 persen.

Berdasarkan survei yang dilaksanakan BPS bisa kita ambil kesimpulan bahwa masih ada sekitar 20-30 persen masyarakat Indonesia yang memiliki benih-benih korupsi. Dan tentu saja ini masih menjadi pekerjaan rumah bersama agar 100 persen masyarakat Indonesia adalah anti korupsi. Sedangkan pelayanan publik seperti PLN, RT/RW serta Kepala Desa masih harus diperbaiki kinerjanya untuk lebih perhatian terhadap antikorupsi.

No comments:

Post a Comment