Friday, August 10, 2018

MENYIKAPI MELEMAHNYA RUPIAH

Oleh: Maulana MS Aji, SST.

Rupiah melemah mencapai titik Rp 14.500/ US$. Ke­adaan ini merupakan level terendah sejak Presiden Jokowi memimpin Indonesia.

Menyikapi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini malah menge­luar­­kan pernyataan yang cukup mengejutkan yaitu se­tiap pelemahan Rp 100,- maka penerimaan Negara bertambah 1.7 trilliun. Topik inipun dengan cepat mengkudeta pemberitaan angka kemiskinan yang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah negara ini berdiri me­nyentuh level satu digit yaitu 9.82 persen atau setara dengan 25.95 juta jiwa.


Mari sejenak meninggalkan pembahasan angka kemisk­­inan, kita kembali kepada pernyataan Ibu Sri Mulyani. Sejatinya pernyataan Sri Mulyani pada saat itu hanya sebatas melihat dari satu titik penerimaan negara yaitu dari sisi penerimaan negara berdasarkan penjualan mi­nyak bumi. Tentu saja semakin Rupiah melemah terhadap Dollar Ame­rika Serikat, penerimaan negara akan terlihat lebih besar jika dirupiahkan.

Lain halnya dengan tulisan Dah­lan Iskan yang beberapa hari ini viral dimedia sosial dengan judul “Kecopetan Sebelum ke Amerika”. Tentu saja, pak Dahlan tidak benar-benar mengalami kecopetan, judul tersebut hanyalah ungkapan lain dari melemahnya rupiah terhadap mata uang negara Paman Sam. Dahlan Iskan mengilustrasikan dengan permi­salan jika tabungan kita sebesar 20 milliar rupiah, maka dengan melemahnya rupiah terhadap dollar Amerika Serikat diibarat­kan ber­kurang menjadi 19 milliar rupiah. Berkurangnya nilai tabungan tersebut tentu saja berlaku jika si empu­nya melancong keluar negeri, namun jika kita tidak melakukan perjalanan keluar negeri nilai tabungan kita tetaplah 20 milliar rupiah.

Dari tulisan Dahlan Iskan bisa kita simpulkan bahwa ada keuntungan tersendiri bagi Negara Indonesia de­­ngan melemahnya rupiah terhadap dollar yaitu paling tidak agak sedikit menekan keinginan warga negara Indonesia melancong keluar negeri. Daripada merasa kecopetan jika berlibur keluar negeri, semoga para pe­lancong dalam negeri mulai berpikir mengalihkan tujuan berliburnya untuk mengunjungi destinasi-destinasi wisata didalam negeri yang mulai menggeliat.

Dari sudut pandang perdagangan luar negeri, para eksportir akan me­ngalami keuntungan sedangkan para importir akan merugi. Eksportir akan membawa pulang dollar dengan jumlah yang sama dengan biasanya mereka peroleh, namun dollar mereka akan bernilai lebih jika rupiah te­rus melemah. Keadaan ini berbalik 180 derajat bagi para importir, para importir harus merogoh kocek lebih dalam untuk aktivitas perdagangannya jika rupiah terus melemah. Jika keadaan tersebut terus berlangsung, bisa jadi para importir akan mengurangi aktivitas impor barang yang akan berdampak pada kelangkaan barang-barang impor sekaligus naiknya harga-harga barang impor.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdangan Indonesia pada tahun 2017 positif sedangkan periode Januari-Juni Tahun 2018 bernilai negatif. Pada tahun 2017, keuntungan Indonesia dari aktivitas perdagangan luar negeri mencapai 11.84 milliar US$. Sedangkan semester pertama tahun 2018 rugi -1.02 milliar US$. Kerugian perdagangan luar negeri Indonesia pada tahun 2018 bersumber dari impor migas Indonesia yang jauh lebih besar dari ekspor migas. Tahun 2017, netekspor non migas mampu menye­lamat­kan neraca perdagangan Indonesia dinilai positif sedangkan di semester pertama tahun 2018 netekspor non migas tidak bekerja sebaik tahun 2017. Bahkan netekspor non migas pada bulan April dan Mei bernilai negatif.

Pemerintah Tiongkok sendiri malah sengaja melemahkan nilai tukar mata uangnya terhadap Dollar Amerika Serikat. Ke­bijakan yang diambil oleh pemerintah Tiongkok tentu merupa­kan salah satu strategi perdagangan untuk menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat. Dengan melemahnya Nilai Yuan terhadap Dollar Amerika Serikat, para pengusaha akan lebih bersemangat menjual hasil industrinya keluar negeri demi mendapatkan mata uang dollar.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah strategi ini cocok dilakukan Negara Indonesia? Jawabannya tentu kita kembali­kan lagi kepada kondisi perekonomian negara kita. Jika mayoritas barang yang dikonsumsi penduduk Indonesia adalah bersumber dari dalam negeri, maka kebijakan melemah­kan nilai mata uang sa­ngat cocok dilakukan agar devisa yang masuk kedalam negeri semakin banyak, namun sayangnya seperti yang sudah kita ketahui pada semester pertama tahun 2018 ini, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Artinya melemahnya nilai tukar rupiah saat ini sangat tidak menguntungkan.

Berbicara sistem nilai tukar mata uang didunia ada dua jenis yaitu Fixed Exchange Rate dan Flexible Exchange Rate. Saat ini Indonesia menerapkan sistem kombinasi keduanya yaitu Free Floating Rate. Sistem ini dianggap lebih cocok di­te­rap­kan di Indonesia dibandingkan dua sistem lainnya. Jika Fixed Exchange Rate membuat nilai tukar suatu mata uang bersifat tetap, tidak berubah kelemahan dari sistem ini adalah dibu­tuhkannya cadangan devisa yang besar untuk memper­tahankan sistem ini. Sedangkan Flexible Exchange Rate adalah nilai tukar mata uang dibiarkan mengambang sesuai dengan permin­taan pasar, sistem ini biasanya digunakan oleh negara-negara maju.

Dengan demikian, Bank Indonesia sebagai Bank sentral harus bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar tidak terus tergerus oleh mata uang lain terutama terhadap US$. Apabila terjadi pembiaran, dikhawa­tirkan akan berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia. Bukan tidak mungkin, melemahnya rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat bisa menimbulkan inflasi. Seperti kita ketahui bersama beberapa komoditas bahan pokok banyak bersumber dari barang impor sebut saja beras dan gula. Apabila dua komo­ditas ini harganya naik ditakutkan berdampak sistemik terhadap komoditas lain.

Dari paparan tersebut terlihat bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat memiliki keuntungan dan kerugian. Tergantung dari kacamata mana kita melihatnya. Hal yang lebih penting adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat sebaiknya jangan menjadi komoditas politik. Mari bersama-sama mendukung pemerintah untuk memperbaiki keadaan saat ini.***

Penulis adalah Kepala Seksi Statistik Distribusi BPS Kabupaten Aceh Tamiang.

No comments:

Post a Comment

MENYIKAPI MELEMAHNYA RUPIAH

Oleh: Maulana MS Aji, SST.

Rupiah melemah mencapai titik Rp 14.500/ US$. Ke­adaan ini merupakan level terendah sejak Presiden Jokowi memimpin Indonesia.

Menyikapi melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar, Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini malah menge­luar­­kan pernyataan yang cukup mengejutkan yaitu se­tiap pelemahan Rp 100,- maka penerimaan Negara bertambah 1.7 trilliun. Topik inipun dengan cepat mengkudeta pemberitaan angka kemiskinan yang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah negara ini berdiri me­nyentuh level satu digit yaitu 9.82 persen atau setara dengan 25.95 juta jiwa.


Mari sejenak meninggalkan pembahasan angka kemisk­­inan, kita kembali kepada pernyataan Ibu Sri Mulyani. Sejatinya pernyataan Sri Mulyani pada saat itu hanya sebatas melihat dari satu titik penerimaan negara yaitu dari sisi penerimaan negara berdasarkan penjualan mi­nyak bumi. Tentu saja semakin Rupiah melemah terhadap Dollar Ame­rika Serikat, penerimaan negara akan terlihat lebih besar jika dirupiahkan.

Lain halnya dengan tulisan Dah­lan Iskan yang beberapa hari ini viral dimedia sosial dengan judul “Kecopetan Sebelum ke Amerika”. Tentu saja, pak Dahlan tidak benar-benar mengalami kecopetan, judul tersebut hanyalah ungkapan lain dari melemahnya rupiah terhadap mata uang negara Paman Sam. Dahlan Iskan mengilustrasikan dengan permi­salan jika tabungan kita sebesar 20 milliar rupiah, maka dengan melemahnya rupiah terhadap dollar Amerika Serikat diibarat­kan ber­kurang menjadi 19 milliar rupiah. Berkurangnya nilai tabungan tersebut tentu saja berlaku jika si empu­nya melancong keluar negeri, namun jika kita tidak melakukan perjalanan keluar negeri nilai tabungan kita tetaplah 20 milliar rupiah.

Dari tulisan Dahlan Iskan bisa kita simpulkan bahwa ada keuntungan tersendiri bagi Negara Indonesia de­­ngan melemahnya rupiah terhadap dollar yaitu paling tidak agak sedikit menekan keinginan warga negara Indonesia melancong keluar negeri. Daripada merasa kecopetan jika berlibur keluar negeri, semoga para pe­lancong dalam negeri mulai berpikir mengalihkan tujuan berliburnya untuk mengunjungi destinasi-destinasi wisata didalam negeri yang mulai menggeliat.

Dari sudut pandang perdagangan luar negeri, para eksportir akan me­ngalami keuntungan sedangkan para importir akan merugi. Eksportir akan membawa pulang dollar dengan jumlah yang sama dengan biasanya mereka peroleh, namun dollar mereka akan bernilai lebih jika rupiah te­rus melemah. Keadaan ini berbalik 180 derajat bagi para importir, para importir harus merogoh kocek lebih dalam untuk aktivitas perdagangannya jika rupiah terus melemah. Jika keadaan tersebut terus berlangsung, bisa jadi para importir akan mengurangi aktivitas impor barang yang akan berdampak pada kelangkaan barang-barang impor sekaligus naiknya harga-harga barang impor.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdangan Indonesia pada tahun 2017 positif sedangkan periode Januari-Juni Tahun 2018 bernilai negatif. Pada tahun 2017, keuntungan Indonesia dari aktivitas perdagangan luar negeri mencapai 11.84 milliar US$. Sedangkan semester pertama tahun 2018 rugi -1.02 milliar US$. Kerugian perdagangan luar negeri Indonesia pada tahun 2018 bersumber dari impor migas Indonesia yang jauh lebih besar dari ekspor migas. Tahun 2017, netekspor non migas mampu menye­lamat­kan neraca perdagangan Indonesia dinilai positif sedangkan di semester pertama tahun 2018 netekspor non migas tidak bekerja sebaik tahun 2017. Bahkan netekspor non migas pada bulan April dan Mei bernilai negatif.

Pemerintah Tiongkok sendiri malah sengaja melemahkan nilai tukar mata uangnya terhadap Dollar Amerika Serikat. Ke­bijakan yang diambil oleh pemerintah Tiongkok tentu merupa­kan salah satu strategi perdagangan untuk menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat. Dengan melemahnya Nilai Yuan terhadap Dollar Amerika Serikat, para pengusaha akan lebih bersemangat menjual hasil industrinya keluar negeri demi mendapatkan mata uang dollar.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah strategi ini cocok dilakukan Negara Indonesia? Jawabannya tentu kita kembali­kan lagi kepada kondisi perekonomian negara kita. Jika mayoritas barang yang dikonsumsi penduduk Indonesia adalah bersumber dari dalam negeri, maka kebijakan melemah­kan nilai mata uang sa­ngat cocok dilakukan agar devisa yang masuk kedalam negeri semakin banyak, namun sayangnya seperti yang sudah kita ketahui pada semester pertama tahun 2018 ini, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Artinya melemahnya nilai tukar rupiah saat ini sangat tidak menguntungkan.

Berbicara sistem nilai tukar mata uang didunia ada dua jenis yaitu Fixed Exchange Rate dan Flexible Exchange Rate. Saat ini Indonesia menerapkan sistem kombinasi keduanya yaitu Free Floating Rate. Sistem ini dianggap lebih cocok di­te­rap­kan di Indonesia dibandingkan dua sistem lainnya. Jika Fixed Exchange Rate membuat nilai tukar suatu mata uang bersifat tetap, tidak berubah kelemahan dari sistem ini adalah dibu­tuhkannya cadangan devisa yang besar untuk memper­tahankan sistem ini. Sedangkan Flexible Exchange Rate adalah nilai tukar mata uang dibiarkan mengambang sesuai dengan permin­taan pasar, sistem ini biasanya digunakan oleh negara-negara maju.

Dengan demikian, Bank Indonesia sebagai Bank sentral harus bisa menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar tidak terus tergerus oleh mata uang lain terutama terhadap US$. Apabila terjadi pembiaran, dikhawa­tirkan akan berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia. Bukan tidak mungkin, melemahnya rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat bisa menimbulkan inflasi. Seperti kita ketahui bersama beberapa komoditas bahan pokok banyak bersumber dari barang impor sebut saja beras dan gula. Apabila dua komo­ditas ini harganya naik ditakutkan berdampak sistemik terhadap komoditas lain.

Dari paparan tersebut terlihat bahwa melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat memiliki keuntungan dan kerugian. Tergantung dari kacamata mana kita melihatnya. Hal yang lebih penting adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat sebaiknya jangan menjadi komoditas politik. Mari bersama-sama mendukung pemerintah untuk memperbaiki keadaan saat ini.***

Penulis adalah Kepala Seksi Statistik Distribusi BPS Kabupaten Aceh Tamiang.

No comments:

Post a Comment