Sumber: https://www.businesstoday.in
Dunia industri saat ini memasuki era 4.0. Beberapa
kegiatan ekonomi yang tidak sadar akan revolusi 4.0 akan kalah saing dan
menjadi korban keganasan sebuah revolusi.
Layaknya revolusi dalam perpolitikan, Revolusi
Industri juga akan memakan korban. Jika dalam dunia perpolitikan yang menjadi
korban adalah nyawa manusia, maka Revolusi Industri akan memakan korban seperti
perusahaan-perusahaan besar yang tidak siap dengan perubahan yang sangat cepat
ini.
Dua tahun belakangan kita disuguhkan dengan padamnya
bisnis retail besar seperti Ramayana, Hypermart dan Matahari Mall. Tutupnya
retail-retail besar tersebut tidak lepas dari gaya hidup masyarakat yang sudah
mulai mengalihkan cara belanjanya menjadi belanja Online. Sebut saja startup
seperti Buka Lapak, Tokopedia dan Shopee inilah yang secara halus telah
mengambil pangsa pasar retail-retail besar tersebut.
Selain ketiga raksasa retail tersebut, masih banyak
korban dari keganasan revolusi industri 4.0. Bisnis-bisnis yang menjadi korban
lainnya adalah ojek konvensional yang segera punah karena hadirnya sarana
transportasi online seperti go-ride (inovasi dari perusahaan Go-Jek) dan
grab-ride (Inovasi dari perusahaan Grab). Belum lagi menilik nasib perusahaan
raksasa transportasi taxi Blue Bird, dimana sekarang mulai ditinggalkan
pelangganya.
Dari bisnis transportasi, mari sedikit mengingat
kembali kejayaan ITC Roxy Mass yang terletak di Jakarta Barat serta Pasar
Glodok yang berposisi di Jakarta juga. Dua tempat ini merupakan raja pasar elektronik
di Indonesia. Jika Roxy memegang pasar khusus Handphone, maka Pasar Glodok mengusai berbagai jenis peralatan
elektronik seperti TV, Kulkas, Speaker dan masih banyak lagi barang elektronik
dengan harga murah dipasarkan ditempat ini. Namun itu adalah cerita jaman old, saat ini dua tempat tersebut akan
segera merasakan ganasnya revolusi industri 4.0. Seperti halnya perusahaan
retail, dua pasar elektronik terkemuka di Jakarta ini juga merupakan salah satu
korban dari perubahan yang sangat cepat dari Industri.
Sasaran selanjutnya revolusi 4.0 adalah dunia
perbankan. Sejarah sudah mencatat bahwa Bitcoin pernah mencuri perhatian dengan
memproklamasikan dirinya sebagai mata uang elektronik yang diakui dunia. Bahkan
dengan kepemilikan Bitcoin, seseorang bisa dengan mudah berbelanja online
melewati batas territorial Negara tanpa repot harus menukarkan mata uang
tertentu untuk memperlancar transaksinya.
Bitcoin sempat menghebohkan dunia, sehingga membuat
para pengambil kebijakan masing-masing Negara turut andil dalam kasus bitcoin.
Beberapa Negara yang melegalkan penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran
antara lain Jepang (asal Bitcoin Muncull), Amerika Serikat, Denmark, Korea
Selatan dan Finlandia. Bahka dikutip dari detik.com, Pada Januari 2016 Bitcoin
digunakan untuk sarana jual beli mobil Tesla Seharga € 140.000 hal ini
berlangsung di Negara Finlandia.
Sedangkan beberapa Negara seperti Arab Saudi dengan
tegas menyatakan bahwa Bitcoin adalah mata uang Ilegal. Pemerintah Indonesia
sendiri melalui Bank Indonesia juga
melarang peredaran dan jual beli Bitcoin di Indonesia. Pernyataan Bank
Indonesia juga didukung Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan yang berdalih bahwa
mengacu pada Undang-Undang bahwa alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah
mata Uang Rupiah.
Banyak dilarang beredarnya Bitcoin diberbagai
kawasan Negara membuat Bitcoin saat ini sudah tidak sepopuler dulu. Bahkan
harga bitcoin terus menurun, mungkin karena berkurangnya kepercayaan pasar
terahadap mata uang digital ini, tentu saja akibat kebijakan yang diambil oleh
sebagian besar masyarakat dunia. Setidaknya Bitcoin yang pertama kali muncul
pada tahun 2009 ini menjadi informasi awal bagi dunia perbankan bahwa dunia 4.0
segera menyentuh bisnis perbankan.
Euforia Bitcoin yang lambat laun hilang disambut dengan
merajalelanya uang digital yang merupakan produk turunan dari startup. Sebut
saja Gopay yang dengan perusahaan Gojek, Ovo yang beraviliasi dengan Grab,
Paylater di Travelo dan masih banyak lagi jenis-jenis uang digital model baru.
Para konsumen startup besar tersebut dibuatnya percaya menggunakan uang digital
gaya baru ini. Berbagai promosi dan program diskon yang dilancarkan manajemen
membuat para konsumen sekarang tidak canggung dan takut mendepositokan sejumlah
uang rupiah untuk dikonversi menjadi uang digital.
Uang-uang digital tersebut sebetulnya ada yang
merupakan bagian dari perusahaan startup dan ada yang merupakan kerjasama
antara startup dengan perusahaan Financial
Technology (Fintech). Dari sinilah awal mula revolusi Bank 4.0 dimulai. Nilai
transaksi fintech akan terus meningkat seiring dengan kenyamanan masyarakat
menggunakan startup untuk melakukan transaksi kebutuhan sehari-hari mulai dari
membeli barang, makanan, transportasi dan lain-lain.
Transaksi digital yang semakin lengkap membuat uang
digital yang secara alamiah langsung dipercaya oleh masyarakat adalah modal
penting bagi para fintech untuk membangun dinasti perbankan yang baru di Dunia.
Cepat atau lambat, fintech akan menjelma menjadi Bank 4.0 yang menguasai dunia
keuangan.
Kemudahan dalam bertransaki menjadi modal kuat uang
digital besutan fintech menggeser uang kertas yang diciptakan Bank Indonesia.
Selain itu, bagi pemeluk Agama Islam uang digital yang disimpan di perusahaan
Fintech juga lebih aman dari kata “Riba”. Bila Bank konvensional biasanya
menawarkan bunga bank setiap bulannya dan potongan administrasi, maka uang
digital dari Fintech dijamin keutuhannya. Para nasabah tidak perlu takut saldo
yang dimiliki hilang tergerus biaya administrasi dan bagi umat muslim tidak perlu
takut riba karena financial technology tidak akan memberikan imbalan sepeserpun
meskipun saldo kita banyak.
Kondisi ini merupakan lampu kuning bagi para manajer
Bank Konvensional atau biasa disebut 3.0. Mereka harus segera bergerak cepat
menghadapi era disrupsi ini jika tidak mau menjadi salah satu korban revolusi
perbankan. Layaknya retail-retail besar yang sudah tidak mampu lagi bertahan
dengan adanya revolusi industry 4.0. Layak ditunggu bank konvensional mana saja
yang akan bertahan menghadapi era disrupsi ini.
No comments:
Post a Comment