Monday, January 21, 2019

Menatap Revolusi Bank 4.0


Sumber: https://www.businesstoday.in

Dunia industri saat ini memasuki era 4.0. Beberapa kegiatan ekonomi yang tidak sadar akan revolusi 4.0 akan kalah saing dan menjadi korban keganasan sebuah revolusi.
Layaknya revolusi dalam perpolitikan, Revolusi Industri juga akan memakan korban. Jika dalam dunia perpolitikan yang menjadi korban adalah nyawa manusia, maka Revolusi Industri akan memakan korban seperti perusahaan-perusahaan besar yang tidak siap dengan perubahan yang sangat cepat ini.
Dua tahun belakangan kita disuguhkan dengan padamnya bisnis retail besar seperti Ramayana, Hypermart dan Matahari Mall. Tutupnya retail-retail besar tersebut tidak lepas dari gaya hidup masyarakat yang sudah mulai mengalihkan cara belanjanya menjadi belanja Online. Sebut saja startup seperti Buka Lapak, Tokopedia dan Shopee inilah yang secara halus telah mengambil pangsa pasar retail-retail besar tersebut.
Selain ketiga raksasa retail tersebut, masih banyak korban dari keganasan revolusi industri 4.0. Bisnis-bisnis yang menjadi korban lainnya adalah ojek konvensional yang segera punah karena hadirnya sarana transportasi online seperti go-ride (inovasi dari perusahaan Go-Jek) dan grab-ride (Inovasi dari perusahaan Grab). Belum lagi menilik nasib perusahaan raksasa transportasi taxi Blue Bird, dimana sekarang mulai ditinggalkan pelangganya.
Dari bisnis transportasi, mari sedikit mengingat kembali kejayaan ITC Roxy Mass yang terletak di Jakarta Barat serta Pasar Glodok yang berposisi di Jakarta juga. Dua tempat ini merupakan raja pasar elektronik di Indonesia. Jika Roxy memegang pasar khusus Handphone, maka Pasar Glodok mengusai berbagai jenis peralatan elektronik seperti TV, Kulkas, Speaker dan masih banyak lagi barang elektronik dengan harga murah dipasarkan ditempat ini. Namun itu adalah cerita jaman old, saat ini dua tempat tersebut akan segera merasakan ganasnya revolusi industri 4.0. Seperti halnya perusahaan retail, dua pasar elektronik terkemuka di Jakarta ini juga merupakan salah satu korban dari perubahan yang sangat cepat dari Industri.
Sasaran selanjutnya revolusi 4.0 adalah dunia perbankan. Sejarah sudah mencatat bahwa Bitcoin pernah mencuri perhatian dengan memproklamasikan dirinya sebagai mata uang elektronik yang diakui dunia. Bahkan dengan kepemilikan Bitcoin, seseorang bisa dengan mudah berbelanja online melewati batas territorial Negara tanpa repot harus menukarkan mata uang tertentu untuk memperlancar transaksinya.
Bitcoin sempat menghebohkan dunia, sehingga membuat para pengambil kebijakan masing-masing Negara turut andil dalam kasus bitcoin. Beberapa Negara yang melegalkan penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran antara lain Jepang (asal Bitcoin Muncull), Amerika Serikat, Denmark, Korea Selatan dan Finlandia. Bahka dikutip dari detik.com, Pada Januari 2016 Bitcoin digunakan untuk sarana jual beli mobil Tesla Seharga € 140.000 hal ini berlangsung di Negara Finlandia.
Sedangkan beberapa Negara seperti Arab Saudi dengan tegas menyatakan bahwa Bitcoin adalah mata uang Ilegal. Pemerintah Indonesia sendiri melalui  Bank Indonesia juga melarang peredaran dan jual beli Bitcoin di Indonesia. Pernyataan Bank Indonesia juga didukung Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan yang berdalih bahwa mengacu pada Undang-Undang bahwa alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah mata Uang Rupiah.
Banyak dilarang beredarnya Bitcoin diberbagai kawasan Negara membuat Bitcoin saat ini sudah tidak sepopuler dulu. Bahkan harga bitcoin terus menurun, mungkin karena berkurangnya kepercayaan pasar terahadap mata uang digital ini, tentu saja akibat kebijakan yang diambil oleh sebagian besar masyarakat dunia. Setidaknya Bitcoin yang pertama kali muncul pada tahun 2009 ini menjadi informasi awal bagi dunia perbankan bahwa dunia 4.0 segera menyentuh bisnis perbankan.
Euforia Bitcoin yang lambat laun hilang disambut dengan merajalelanya uang digital yang merupakan produk turunan dari startup. Sebut saja Gopay yang dengan perusahaan Gojek, Ovo yang beraviliasi dengan Grab, Paylater di Travelo dan masih banyak lagi jenis-jenis uang digital model baru. Para konsumen startup besar tersebut dibuatnya percaya menggunakan uang digital gaya baru ini. Berbagai promosi dan program diskon yang dilancarkan manajemen membuat para konsumen sekarang tidak canggung dan takut mendepositokan sejumlah uang rupiah untuk dikonversi menjadi uang digital.
Uang-uang digital tersebut sebetulnya ada yang merupakan bagian dari perusahaan startup dan ada yang merupakan kerjasama antara startup dengan perusahaan Financial Technology (Fintech). Dari sinilah awal mula revolusi Bank 4.0 dimulai. Nilai transaksi fintech akan terus meningkat seiring dengan kenyamanan masyarakat menggunakan startup untuk melakukan transaksi kebutuhan sehari-hari mulai dari membeli barang, makanan, transportasi dan lain-lain.
Transaksi digital yang semakin lengkap membuat uang digital yang secara alamiah langsung dipercaya oleh masyarakat adalah modal penting bagi para fintech untuk membangun dinasti perbankan yang baru di Dunia. Cepat atau lambat, fintech akan menjelma menjadi Bank 4.0 yang menguasai dunia keuangan.
Kemudahan dalam bertransaki menjadi modal kuat uang digital besutan fintech menggeser uang kertas yang diciptakan Bank Indonesia. Selain itu, bagi pemeluk Agama Islam uang digital yang disimpan di perusahaan Fintech juga lebih aman dari kata “Riba”. Bila Bank konvensional biasanya menawarkan bunga bank setiap bulannya dan potongan administrasi, maka uang digital dari Fintech dijamin keutuhannya. Para nasabah tidak perlu takut saldo yang dimiliki hilang tergerus biaya administrasi dan bagi umat muslim tidak perlu takut riba karena financial technology tidak akan memberikan imbalan sepeserpun meskipun saldo kita banyak.
Kondisi ini merupakan lampu kuning bagi para manajer Bank Konvensional atau biasa disebut 3.0. Mereka harus segera bergerak cepat menghadapi era disrupsi ini jika tidak mau menjadi salah satu korban revolusi perbankan. Layaknya retail-retail besar yang sudah tidak mampu lagi bertahan dengan adanya revolusi industry 4.0. Layak ditunggu bank konvensional mana saja yang akan bertahan menghadapi era disrupsi ini.

No comments:

Post a Comment

Menatap Revolusi Bank 4.0


Sumber: https://www.businesstoday.in

Dunia industri saat ini memasuki era 4.0. Beberapa kegiatan ekonomi yang tidak sadar akan revolusi 4.0 akan kalah saing dan menjadi korban keganasan sebuah revolusi.
Layaknya revolusi dalam perpolitikan, Revolusi Industri juga akan memakan korban. Jika dalam dunia perpolitikan yang menjadi korban adalah nyawa manusia, maka Revolusi Industri akan memakan korban seperti perusahaan-perusahaan besar yang tidak siap dengan perubahan yang sangat cepat ini.
Dua tahun belakangan kita disuguhkan dengan padamnya bisnis retail besar seperti Ramayana, Hypermart dan Matahari Mall. Tutupnya retail-retail besar tersebut tidak lepas dari gaya hidup masyarakat yang sudah mulai mengalihkan cara belanjanya menjadi belanja Online. Sebut saja startup seperti Buka Lapak, Tokopedia dan Shopee inilah yang secara halus telah mengambil pangsa pasar retail-retail besar tersebut.
Selain ketiga raksasa retail tersebut, masih banyak korban dari keganasan revolusi industri 4.0. Bisnis-bisnis yang menjadi korban lainnya adalah ojek konvensional yang segera punah karena hadirnya sarana transportasi online seperti go-ride (inovasi dari perusahaan Go-Jek) dan grab-ride (Inovasi dari perusahaan Grab). Belum lagi menilik nasib perusahaan raksasa transportasi taxi Blue Bird, dimana sekarang mulai ditinggalkan pelangganya.
Dari bisnis transportasi, mari sedikit mengingat kembali kejayaan ITC Roxy Mass yang terletak di Jakarta Barat serta Pasar Glodok yang berposisi di Jakarta juga. Dua tempat ini merupakan raja pasar elektronik di Indonesia. Jika Roxy memegang pasar khusus Handphone, maka Pasar Glodok mengusai berbagai jenis peralatan elektronik seperti TV, Kulkas, Speaker dan masih banyak lagi barang elektronik dengan harga murah dipasarkan ditempat ini. Namun itu adalah cerita jaman old, saat ini dua tempat tersebut akan segera merasakan ganasnya revolusi industri 4.0. Seperti halnya perusahaan retail, dua pasar elektronik terkemuka di Jakarta ini juga merupakan salah satu korban dari perubahan yang sangat cepat dari Industri.
Sasaran selanjutnya revolusi 4.0 adalah dunia perbankan. Sejarah sudah mencatat bahwa Bitcoin pernah mencuri perhatian dengan memproklamasikan dirinya sebagai mata uang elektronik yang diakui dunia. Bahkan dengan kepemilikan Bitcoin, seseorang bisa dengan mudah berbelanja online melewati batas territorial Negara tanpa repot harus menukarkan mata uang tertentu untuk memperlancar transaksinya.
Bitcoin sempat menghebohkan dunia, sehingga membuat para pengambil kebijakan masing-masing Negara turut andil dalam kasus bitcoin. Beberapa Negara yang melegalkan penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran antara lain Jepang (asal Bitcoin Muncull), Amerika Serikat, Denmark, Korea Selatan dan Finlandia. Bahka dikutip dari detik.com, Pada Januari 2016 Bitcoin digunakan untuk sarana jual beli mobil Tesla Seharga € 140.000 hal ini berlangsung di Negara Finlandia.
Sedangkan beberapa Negara seperti Arab Saudi dengan tegas menyatakan bahwa Bitcoin adalah mata uang Ilegal. Pemerintah Indonesia sendiri melalui  Bank Indonesia juga melarang peredaran dan jual beli Bitcoin di Indonesia. Pernyataan Bank Indonesia juga didukung Pimpinan Otoritas Jasa Keuangan yang berdalih bahwa mengacu pada Undang-Undang bahwa alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah mata Uang Rupiah.
Banyak dilarang beredarnya Bitcoin diberbagai kawasan Negara membuat Bitcoin saat ini sudah tidak sepopuler dulu. Bahkan harga bitcoin terus menurun, mungkin karena berkurangnya kepercayaan pasar terahadap mata uang digital ini, tentu saja akibat kebijakan yang diambil oleh sebagian besar masyarakat dunia. Setidaknya Bitcoin yang pertama kali muncul pada tahun 2009 ini menjadi informasi awal bagi dunia perbankan bahwa dunia 4.0 segera menyentuh bisnis perbankan.
Euforia Bitcoin yang lambat laun hilang disambut dengan merajalelanya uang digital yang merupakan produk turunan dari startup. Sebut saja Gopay yang dengan perusahaan Gojek, Ovo yang beraviliasi dengan Grab, Paylater di Travelo dan masih banyak lagi jenis-jenis uang digital model baru. Para konsumen startup besar tersebut dibuatnya percaya menggunakan uang digital gaya baru ini. Berbagai promosi dan program diskon yang dilancarkan manajemen membuat para konsumen sekarang tidak canggung dan takut mendepositokan sejumlah uang rupiah untuk dikonversi menjadi uang digital.
Uang-uang digital tersebut sebetulnya ada yang merupakan bagian dari perusahaan startup dan ada yang merupakan kerjasama antara startup dengan perusahaan Financial Technology (Fintech). Dari sinilah awal mula revolusi Bank 4.0 dimulai. Nilai transaksi fintech akan terus meningkat seiring dengan kenyamanan masyarakat menggunakan startup untuk melakukan transaksi kebutuhan sehari-hari mulai dari membeli barang, makanan, transportasi dan lain-lain.
Transaksi digital yang semakin lengkap membuat uang digital yang secara alamiah langsung dipercaya oleh masyarakat adalah modal penting bagi para fintech untuk membangun dinasti perbankan yang baru di Dunia. Cepat atau lambat, fintech akan menjelma menjadi Bank 4.0 yang menguasai dunia keuangan.
Kemudahan dalam bertransaki menjadi modal kuat uang digital besutan fintech menggeser uang kertas yang diciptakan Bank Indonesia. Selain itu, bagi pemeluk Agama Islam uang digital yang disimpan di perusahaan Fintech juga lebih aman dari kata “Riba”. Bila Bank konvensional biasanya menawarkan bunga bank setiap bulannya dan potongan administrasi, maka uang digital dari Fintech dijamin keutuhannya. Para nasabah tidak perlu takut saldo yang dimiliki hilang tergerus biaya administrasi dan bagi umat muslim tidak perlu takut riba karena financial technology tidak akan memberikan imbalan sepeserpun meskipun saldo kita banyak.
Kondisi ini merupakan lampu kuning bagi para manajer Bank Konvensional atau biasa disebut 3.0. Mereka harus segera bergerak cepat menghadapi era disrupsi ini jika tidak mau menjadi salah satu korban revolusi perbankan. Layaknya retail-retail besar yang sudah tidak mampu lagi bertahan dengan adanya revolusi industry 4.0. Layak ditunggu bank konvensional mana saja yang akan bertahan menghadapi era disrupsi ini.

No comments:

Post a Comment