Friday, July 20, 2018

Wajah Aceh Di Mata Turis









Aceh kembali berduka, baru-baru ini terjadi pembunuhan sadis menimpa satu keluarga keturunan Tionghoa yang berdomisili di Gampong Mulia Banda Aceh. Kejadian yang menewaskan tiga orang tersebut cukup mengejutkan publik Aceh diawal tahun 2018. Jumlah kunjungan turis asing maupun lokal ke Aceh dipercaya bakalan terpengaruh karena kejadian tersebut. Tentu saja, faktor keamanan adalah hal sangat penting bagi traveler menentukan tempat yang akan dikunjungi. Selain itu faktor keamanan juga sangat penting sebagai pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Aceh kedepannya.

Keberadaan turis asing maupun lokal sangat penting bagi perekonomian Aceh. Sedikit mengingat kembali pelajaran ekonomi, ada empat pelaku utama kegiatan ekonomi yaitu rumah tangga lokal, pemerintah, perusahaan dan luar negri (di level perekonomian daerah, luar negri digabungkan dengan luar provinsi). Kenapa keberadaan turis yang masuk kedalam kategori pelaku ekonomi luar negri ini sangat penting bagi perekonomian suatu daerah? Karena seluruh uang yang dibelanjakan para turis selama mereka berkunjung akan masuk kedalam komponen ekspor dari perekonomian suatu daerah, dengan memperkuat komponen ini maka perekonomian suatu daerah akan stabil.

Berbicara masalah turis asing, seorang teman memiliki pengalaman menarik berbincang-bincang dengan salah satu pelancong dari Negara Perancis. Turis tersebut baru saja berkunjung ke Danau Toba Sumatera Utara. Turis tersebut rupanya belum pernah berkunjung ke bumi serambi mekah, reflek jiwa marketing teman saya tiba-tiba muncul. Beliau langsung menawarkan beberapa destinasi wisata di Aceh seperti Danau Laut Tawar di Aceh Tengah, Pulau Sabang, Pulau Banyak di Aceh Singkil, Tapak Tuan Di Aceh Selatan, situs-situs peninggalan tsunami di Banda Aceh dan tak lupa ekosistem leuser Ketambe Aceh Tenggara. Jawaban yang cukup mengejutkan keluar dari turis tersebut, menurut dia keamanan Aceh masih diragukan selain itu apa boleh perempuan tidak mengenakan kerudung memasuki wilayah Aceh?

Kurang lebih itulah anggapan turis asing tersebut. Pendapat turis asing tersebut diyakini bukanlah pendapat pribadi, melainkan referensi yang didapatkan baik dari agen perjalanan maupun informasi yang diperoleh melalui internet. Keadaan ini sebetulnya sangat disayangkan dan merugikan perekonomian Aceh, mengingat jika melihat data kejahatan yang terjadi Provinsi Aceh tidak seperti yang dibayangkan turis tersebut.

Sebagai gambaran, berdasarkan publikasi Statistik Kriminal 2017 (bisa diakses di https://www.bps.go.id) yang di publikasikan Badan Pusat Statistik, Kejahatan yang berhubungan dengan nyawa selama tahun 2016 di Aceh terdapat 43 kasus. Jika dibandingkan provinsi tetangga yaitu Sumatera Utara, maka jumlah kejahatan yang berhubungan dengan nyawa Aceh hanya seperempat Sumatera Utara (161 Kasus). Sedangkan secara umum, jumlah kejahatan di Aceh selama tahun 2016 adalah sebanya 9.646 kasus. Jumlah tersebut menempatkan Aceh di peringkat 11 nasional berdasarkan jumlah kasus kejahatan. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara berada diperingkat kedua terbanyak dengan total kejahatan selama tahun 2016 yaitu 37.102 kasus.

Jika dilihat dari indikator risiko penduduk mengalami kejahatan, Provinsi Aceh memiliki angka 194 pada tahun 2016. Angka tersebut naik jika dibandingkan tahun 2015 sebesar  164   dan tahun 2014 sebesar 158. Indikator tersebut memiliki makna, setiap 100.000 penduduk aceh sekitar 194 orang berisiko mengalami tindak kejahatan. Angka 194 menempatkan Aceh di peringkat 14 Nasional. Dengan kata lain, Aceh Provinsi paling tidak aman nomor 14 dari 33 Provinsi di Indonesia.

Data-data tersebut kiranya sudah cukup menggugurkan informasi bahwa Aceh adalah daerah yang tidak aman untuk dikunjungi (bahkan daerah yang baru dikunjungi turis tersebut (Sumatera Utara) 4 kali lebih rawan kejahatan pembunuhan dibanding Aceh). Sedangkan informasi mengenai masih diragukannya turis asing tidak menggunakan kerudung memasuki wilayah Aceh bisa menjadi Pekerjaan Rumah Pemerintah Provinsi Aceh untuk lebih mensosialisasikan penerapan syariat islam di Aceh.

Selain itu, Pemerintah Aceh bersama seluruh elemen masyarakat sepertinya harus bekerja keras untuk mengembalikan citra Aceh yang aman dan ramah terhadap turis. Obrolan-obrolan ringan warga Aceh jika sedang bertandang ke luar Provinsi Aceh untuk mempromosikan wisata Aceh sepertinya perlu dibudayakan. Dengan peningkatan jumlah turis asing maupun lokal, diharapkan bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di Aceh kedepannya. Tidak seperti sekarang yang masih bergantung pada konsumsi rumahtangga dan pemerintah.

Tentu saja dua hal yang berbeda antara pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh komponen konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang komponen ekspor. Sedikit membahas masalah pertumbuhan ekonomi, sejatinya perekonomian suatu daerah dikatakan sehat jika komponen investasi dan ekspor tumbuh. Artinya jika perekonomian suatu daerah hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, maka bisa dikatakan pertumbuhan ekonominya semu. Konsumsi rumahtangga dan pemerintah memiliki batasan untuk tumbuh, sedangkan Investasi dan ekspor tidak ada batasan.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah potensi Aceh untuk lebih menghidupkan perekonomian masih belum optimal, hal ini terbukti dari pandangan orang diluar bahwa Aceh saat ini belum termasuk daerah yang direkomendasikan untuk dikunjungi bahkan cenderung tidak aman untuk dikunjungi. Selain itu para pemilik modal juga enggan mengucurkan dana untuk berinvestasi di tanah rencong ini.

Keadaan ini jelas menghambat beberapa kegiatan-kegiatan ekonomi untuk  berkembang, sebut saja kerajinan souvenir aceh baik berbentuk gantungan kunci, tas motif aceh, kaos dan lain-lain. Usaha transportasi, akomodasi hotel dan penyedia jasa makan minum juga sangat dipengaruhi faktor keamanan. Semoga kedepannya wajah Aceh di mata dunia kedepannya semakin baik.

No comments:

Post a Comment

Wajah Aceh Di Mata Turis









Aceh kembali berduka, baru-baru ini terjadi pembunuhan sadis menimpa satu keluarga keturunan Tionghoa yang berdomisili di Gampong Mulia Banda Aceh. Kejadian yang menewaskan tiga orang tersebut cukup mengejutkan publik Aceh diawal tahun 2018. Jumlah kunjungan turis asing maupun lokal ke Aceh dipercaya bakalan terpengaruh karena kejadian tersebut. Tentu saja, faktor keamanan adalah hal sangat penting bagi traveler menentukan tempat yang akan dikunjungi. Selain itu faktor keamanan juga sangat penting sebagai pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Aceh kedepannya.

Keberadaan turis asing maupun lokal sangat penting bagi perekonomian Aceh. Sedikit mengingat kembali pelajaran ekonomi, ada empat pelaku utama kegiatan ekonomi yaitu rumah tangga lokal, pemerintah, perusahaan dan luar negri (di level perekonomian daerah, luar negri digabungkan dengan luar provinsi). Kenapa keberadaan turis yang masuk kedalam kategori pelaku ekonomi luar negri ini sangat penting bagi perekonomian suatu daerah? Karena seluruh uang yang dibelanjakan para turis selama mereka berkunjung akan masuk kedalam komponen ekspor dari perekonomian suatu daerah, dengan memperkuat komponen ini maka perekonomian suatu daerah akan stabil.

Berbicara masalah turis asing, seorang teman memiliki pengalaman menarik berbincang-bincang dengan salah satu pelancong dari Negara Perancis. Turis tersebut baru saja berkunjung ke Danau Toba Sumatera Utara. Turis tersebut rupanya belum pernah berkunjung ke bumi serambi mekah, reflek jiwa marketing teman saya tiba-tiba muncul. Beliau langsung menawarkan beberapa destinasi wisata di Aceh seperti Danau Laut Tawar di Aceh Tengah, Pulau Sabang, Pulau Banyak di Aceh Singkil, Tapak Tuan Di Aceh Selatan, situs-situs peninggalan tsunami di Banda Aceh dan tak lupa ekosistem leuser Ketambe Aceh Tenggara. Jawaban yang cukup mengejutkan keluar dari turis tersebut, menurut dia keamanan Aceh masih diragukan selain itu apa boleh perempuan tidak mengenakan kerudung memasuki wilayah Aceh?

Kurang lebih itulah anggapan turis asing tersebut. Pendapat turis asing tersebut diyakini bukanlah pendapat pribadi, melainkan referensi yang didapatkan baik dari agen perjalanan maupun informasi yang diperoleh melalui internet. Keadaan ini sebetulnya sangat disayangkan dan merugikan perekonomian Aceh, mengingat jika melihat data kejahatan yang terjadi Provinsi Aceh tidak seperti yang dibayangkan turis tersebut.

Sebagai gambaran, berdasarkan publikasi Statistik Kriminal 2017 (bisa diakses di https://www.bps.go.id) yang di publikasikan Badan Pusat Statistik, Kejahatan yang berhubungan dengan nyawa selama tahun 2016 di Aceh terdapat 43 kasus. Jika dibandingkan provinsi tetangga yaitu Sumatera Utara, maka jumlah kejahatan yang berhubungan dengan nyawa Aceh hanya seperempat Sumatera Utara (161 Kasus). Sedangkan secara umum, jumlah kejahatan di Aceh selama tahun 2016 adalah sebanya 9.646 kasus. Jumlah tersebut menempatkan Aceh di peringkat 11 nasional berdasarkan jumlah kasus kejahatan. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara berada diperingkat kedua terbanyak dengan total kejahatan selama tahun 2016 yaitu 37.102 kasus.

Jika dilihat dari indikator risiko penduduk mengalami kejahatan, Provinsi Aceh memiliki angka 194 pada tahun 2016. Angka tersebut naik jika dibandingkan tahun 2015 sebesar  164   dan tahun 2014 sebesar 158. Indikator tersebut memiliki makna, setiap 100.000 penduduk aceh sekitar 194 orang berisiko mengalami tindak kejahatan. Angka 194 menempatkan Aceh di peringkat 14 Nasional. Dengan kata lain, Aceh Provinsi paling tidak aman nomor 14 dari 33 Provinsi di Indonesia.

Data-data tersebut kiranya sudah cukup menggugurkan informasi bahwa Aceh adalah daerah yang tidak aman untuk dikunjungi (bahkan daerah yang baru dikunjungi turis tersebut (Sumatera Utara) 4 kali lebih rawan kejahatan pembunuhan dibanding Aceh). Sedangkan informasi mengenai masih diragukannya turis asing tidak menggunakan kerudung memasuki wilayah Aceh bisa menjadi Pekerjaan Rumah Pemerintah Provinsi Aceh untuk lebih mensosialisasikan penerapan syariat islam di Aceh.

Selain itu, Pemerintah Aceh bersama seluruh elemen masyarakat sepertinya harus bekerja keras untuk mengembalikan citra Aceh yang aman dan ramah terhadap turis. Obrolan-obrolan ringan warga Aceh jika sedang bertandang ke luar Provinsi Aceh untuk mempromosikan wisata Aceh sepertinya perlu dibudayakan. Dengan peningkatan jumlah turis asing maupun lokal, diharapkan bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di Aceh kedepannya. Tidak seperti sekarang yang masih bergantung pada konsumsi rumahtangga dan pemerintah.

Tentu saja dua hal yang berbeda antara pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh komponen konsumsi rumah tangga dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang komponen ekspor. Sedikit membahas masalah pertumbuhan ekonomi, sejatinya perekonomian suatu daerah dikatakan sehat jika komponen investasi dan ekspor tumbuh. Artinya jika perekonomian suatu daerah hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah, maka bisa dikatakan pertumbuhan ekonominya semu. Konsumsi rumahtangga dan pemerintah memiliki batasan untuk tumbuh, sedangkan Investasi dan ekspor tidak ada batasan.

Kesimpulan dari tulisan ini adalah potensi Aceh untuk lebih menghidupkan perekonomian masih belum optimal, hal ini terbukti dari pandangan orang diluar bahwa Aceh saat ini belum termasuk daerah yang direkomendasikan untuk dikunjungi bahkan cenderung tidak aman untuk dikunjungi. Selain itu para pemilik modal juga enggan mengucurkan dana untuk berinvestasi di tanah rencong ini.

Keadaan ini jelas menghambat beberapa kegiatan-kegiatan ekonomi untuk  berkembang, sebut saja kerajinan souvenir aceh baik berbentuk gantungan kunci, tas motif aceh, kaos dan lain-lain. Usaha transportasi, akomodasi hotel dan penyedia jasa makan minum juga sangat dipengaruhi faktor keamanan. Semoga kedepannya wajah Aceh di mata dunia kedepannya semakin baik.

No comments:

Post a Comment