Aceh kembali berduka, baru-baru ini
terjadi pembunuhan sadis menimpa satu keluarga keturunan Tionghoa yang
berdomisili di Gampong Mulia Banda Aceh. Kejadian yang menewaskan tiga orang
tersebut cukup mengejutkan publik Aceh diawal tahun 2018. Jumlah kunjungan
turis asing maupun lokal ke Aceh dipercaya bakalan terpengaruh karena kejadian
tersebut. Tentu saja, faktor keamanan adalah hal sangat penting bagi traveler
menentukan tempat yang akan dikunjungi. Selain itu faktor keamanan juga sangat
penting sebagai pertimbangan investor untuk menanamkan modalnya di Aceh
kedepannya.
Keberadaan turis asing maupun lokal
sangat penting bagi perekonomian Aceh. Sedikit mengingat kembali pelajaran
ekonomi, ada empat pelaku utama kegiatan ekonomi yaitu rumah tangga lokal,
pemerintah, perusahaan dan luar negri (di level perekonomian daerah, luar negri
digabungkan dengan luar provinsi). Kenapa keberadaan turis yang masuk kedalam
kategori pelaku ekonomi luar negri ini sangat penting bagi perekonomian suatu
daerah? Karena seluruh uang yang dibelanjakan para turis selama mereka
berkunjung akan masuk kedalam komponen ekspor dari perekonomian suatu daerah,
dengan memperkuat komponen ini maka perekonomian suatu daerah akan stabil.
Berbicara masalah turis asing,
seorang teman memiliki pengalaman menarik berbincang-bincang dengan salah satu
pelancong dari Negara Perancis. Turis tersebut baru saja berkunjung ke Danau
Toba Sumatera Utara. Turis tersebut rupanya belum pernah berkunjung ke bumi
serambi mekah, reflek jiwa marketing teman saya tiba-tiba muncul. Beliau
langsung menawarkan beberapa destinasi wisata di Aceh seperti Danau Laut Tawar
di Aceh Tengah, Pulau Sabang, Pulau Banyak di Aceh Singkil, Tapak Tuan Di Aceh
Selatan, situs-situs peninggalan tsunami di Banda Aceh dan tak lupa ekosistem
leuser Ketambe Aceh Tenggara. Jawaban yang cukup mengejutkan keluar dari turis
tersebut, menurut dia keamanan Aceh masih diragukan selain itu apa boleh
perempuan tidak mengenakan kerudung memasuki wilayah Aceh?
Kurang lebih itulah anggapan turis
asing tersebut. Pendapat turis asing tersebut diyakini bukanlah pendapat
pribadi, melainkan referensi yang didapatkan baik dari agen perjalanan maupun
informasi yang diperoleh melalui internet. Keadaan ini sebetulnya sangat
disayangkan dan merugikan perekonomian Aceh, mengingat jika melihat data
kejahatan yang terjadi Provinsi Aceh tidak seperti yang dibayangkan turis
tersebut.
Sebagai gambaran, berdasarkan
publikasi Statistik Kriminal 2017 (bisa diakses di https://www.bps.go.id) yang
di publikasikan Badan Pusat Statistik, Kejahatan yang berhubungan dengan nyawa
selama tahun 2016 di Aceh terdapat 43 kasus. Jika dibandingkan provinsi
tetangga yaitu Sumatera Utara, maka jumlah kejahatan yang berhubungan dengan
nyawa Aceh hanya seperempat Sumatera Utara (161 Kasus). Sedangkan secara umum,
jumlah kejahatan di Aceh selama tahun 2016 adalah sebanya 9.646 kasus. Jumlah
tersebut menempatkan Aceh di peringkat 11 nasional berdasarkan jumlah kasus
kejahatan. Sedangkan Provinsi Sumatera Utara berada diperingkat kedua terbanyak
dengan total kejahatan selama tahun 2016 yaitu 37.102 kasus.
Jika dilihat dari indikator risiko
penduduk mengalami kejahatan, Provinsi Aceh memiliki angka 194 pada tahun 2016.
Angka tersebut naik jika dibandingkan tahun 2015 sebesar 164
dan tahun 2014 sebesar 158. Indikator tersebut memiliki makna, setiap
100.000 penduduk aceh sekitar 194 orang berisiko mengalami tindak kejahatan.
Angka 194 menempatkan Aceh di peringkat 14 Nasional. Dengan kata lain, Aceh
Provinsi paling tidak aman nomor 14 dari 33 Provinsi di Indonesia.
Data-data tersebut kiranya sudah
cukup menggugurkan informasi bahwa Aceh adalah daerah yang tidak aman untuk
dikunjungi (bahkan daerah yang baru dikunjungi turis tersebut (Sumatera Utara)
4 kali lebih rawan kejahatan pembunuhan dibanding Aceh). Sedangkan informasi
mengenai masih diragukannya turis asing tidak menggunakan kerudung memasuki
wilayah Aceh bisa menjadi Pekerjaan Rumah Pemerintah Provinsi Aceh untuk lebih
mensosialisasikan penerapan syariat islam di Aceh.
Selain itu, Pemerintah Aceh bersama
seluruh elemen masyarakat sepertinya harus bekerja keras untuk mengembalikan
citra Aceh yang aman dan ramah terhadap turis. Obrolan-obrolan ringan warga
Aceh jika sedang bertandang ke luar Provinsi Aceh untuk mempromosikan wisata
Aceh sepertinya perlu dibudayakan. Dengan peningkatan jumlah turis asing maupun
lokal, diharapkan bisa menjadi penopang pertumbuhan ekonomi di Aceh kedepannya.
Tidak seperti sekarang yang masih bergantung pada konsumsi rumahtangga dan pemerintah.
Tentu saja dua hal yang berbeda
antara pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh komponen konsumsi rumah tangga
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang ditopang komponen ekspor. Sedikit
membahas masalah pertumbuhan ekonomi, sejatinya perekonomian suatu daerah
dikatakan sehat jika komponen investasi dan ekspor tumbuh. Artinya jika
perekonomian suatu daerah hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan
konsumsi pemerintah, maka bisa dikatakan pertumbuhan ekonominya semu. Konsumsi
rumahtangga dan pemerintah memiliki batasan untuk tumbuh, sedangkan Investasi
dan ekspor tidak ada batasan.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah
potensi Aceh untuk lebih menghidupkan perekonomian masih belum optimal, hal ini
terbukti dari pandangan orang diluar bahwa Aceh saat ini belum termasuk daerah
yang direkomendasikan untuk dikunjungi bahkan cenderung tidak aman untuk
dikunjungi. Selain itu para pemilik modal juga enggan mengucurkan dana untuk
berinvestasi di tanah rencong ini.
No comments:
Post a Comment