Keadaan ekspor Indonesia pada tahun
2017 meningkat 16,22 persen jika dibandingkan tahun 2016. Peningkatan nilai
ekspor tersebut disokong oleh peningkatan ekspor industri pengolahan hasil
minyak yang meningkat hampir 88 persen jika dibandingkan tahun 2016. Seakan
tidak mau kalah, aktivitas mengimpor barangpun naik sekitar 15,66 persen.
Peningkatan kedua aktivitas ekonomi tersebut menunjukan berkobarnya kegiatan
ekonomi di bumi nusantara. Patut disyukuri, selama tahun 2017 selisih nilai
ekspor-impor Indonesia bernilai positif yaitu 11,84 milliar dollar, artinya
aktivitas perdagangan luar negri Indonesia masih berstatus untung.
Pada hakikatnya ekspor dan Impor
adalah kegiatan interaksi dua negara yang saling membutuhkan, layaknya penjual
dan pembeli. Semakin maju suatu negara, biasanya angka ekspor barang akan lebih
tinggi dibandingkan nilai barang yang masuk/impor. Negara yang sudah berdigdaya
ada kemungkinan tidak membutuhkan barang impor dari luar negeri. Sebaliknya
negara yang masih berkembang dan bahkan mendekati miskin akan sangat bergantung
terhadap impor barang dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan hidup
sehari-hari.
Lalu yang menjadi pertanyaan
adalah dimanakah posisi Indonesia saat ini? Mengapa pada saat
pemerintah akan melakukan aktivitas impor barang selalu menjadi berita yang
cukup viral di media online? Tercatat sejak rencana impor garam, impor gula,
impor daging sapi dan yang paling anyar adalah rencana impor beras medium
sebanyak 500.000 ton.
Seakan-akan aktivitas impor sejajar dengan kasus mega korupsi.
Semua orang pasti sepakat bahwa
posisi negara kita saat ini adalah bukan negara digdaya sekaligus bukan negara
miskin, artinya aktivitas menjual hasil alam keluar negeri sekaligus membeli
barang dari luar negeri adalah hal yang biasa. Namun menjadi tidak biasa jika
barang yang kita beli adalah barang yang kita sendiri juga memproduksinya. Jika
di ibaratkan, penjual nasi rames membeli nasi goreng untuk bekal makan malam.
Mungkin perumpaan itulah yang cocok untuk menggambarkan kondisi polemik impor
beras akhir-akhir ini.
Tidak ada salahnya memang seorang
penjual nasi rames juga berhak membeli nasi goreng, mungkin sang penjual bosan
dengan barang dagangannya sehingga membutuhkan sensasi lain untuk memenuhi
hasrat laparnya. Sama dengan Indonesia, meskipun Bulog pada Bulan Desember 2017
lalu mengklaim bahwa stok beras di Bulog mencapai 1.1 juta ton dan diproyeksi
bisa mencukupi sampai Bulan April sah-sah saja jika Indonesia masih melakukan impor
beras.
Jika kita amati lebih lanjut,
memang beras yang akan diimpor adalah beras medium, artinya beras hasil impor
ini memang untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan kalangan tertentu yang memiliki
selera lain. Mengutip sedikit pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kala, pernyataan
ini beliau utarakan pada saat debat capres-cawapres pemilihan presiden tahun
2014 lalu. Pada saat itu panelis menanyakan masalah impor beras, apakah akan
tetap dilakukan jika anda terpilih?jawaban Pak JK saat itu jelas, impor beras tetap
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan beberapa kalangan yang memang kalangan
tersebut hanya mengkonsumsi beras impor kualitas tertentu. Kurang lebih itulah
pernyataan Pak JK pada saat debat Capres-Cawapres 2014. Poin ini sedikit
menjelaskan bahwa Pasangan Jokowi-JK sejak debat capres-cawapres memang tidak
menjanjikan jika terpilih kelak akan menghentikan impor beras.
Meskipun demikian, ada sedikit
pertanyaan yang mengganjal dihati, pertanyaan itu adalah jika memang benar
impor beras medium bertujuan memenuhi kebutuhan beberapa kalangan, apakah
jumlahnya harus sebesar 500.000 ton? Jika dibandingkan dengan produksi gabah GKG ditanah air tahun 2016 (79 juta
ton) atau setara 49 juta ton beras, angka tersebut hampir 1 persen dari total
produksi nasional tahun 2016.
Memang belum ada kajian yang
meneliti apakah dengan kuota impor 1 persen dari total produksi nasional dapat
mengganggu keseimbangan harga beras nasional yang bakalan berdampak buruk bagi
petani, mengingat Bulan Februari dan Maret akan memasuki masa panen raya.
Semoga saja impor beras medium tidak berdampak buruk bagi para petani yang akan
segera memanen sawahnya.
Kekhawatiran tentang aktivitas
impor komoditas pangan sebetulnya tidak hanya sebatas ketakutan terancamnya
anak bangsa yang mayoritas mengusahakan tanaman pangan. Ingat, berdasarkan data
hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS setiap
semesternya menyajikan data bahwa 29,69 persen penduduk Indonesia bekerja di
sektor pertanian. Kekhawatiran lain perihal impor adalah membengkaknya hutang
negara.
Berdasarkan Statistik Utang Luar
Negeri Indonesia yang berasal dari Bank Indonesia, hutang Indonesia sampai dengan Bulan Oktober 2017 sudah
mencapai 341 milliar US$ atau setara 4.610 Trilliun rupiah (kurs 13.500).
Jumlah hutang ini akan terus bertambah seiring makin hobinya Negara Indonesia
melakukan aktivitas impor segala macam komoditas.
Mungkin sebagian orang berpendapat
bahwa impor tidak memiliki hubungan dengan hutang negara, namun menurut saya
pribadi impor memiliki hubungan yang erat dengan hutang luar negeri. Kronologisnya
sederhana, aktivitas impor membutuhkan dollar sebagai alat transaksi, tidak
mungkin kita membeli barang impor dengan mata uang rupiah. Dengan begitu,
semakin banyak suatu Negara melakukan impor maka semakin banyak dollar yang
dibutuhkan.
Pada akhirnya jika cadangan devisa/ stok dollar yang dimiliki Indonesia
sudah menipis, pemerintah maupun swasta akan melakukan hutang luar negeri demi
mendapatkan amunisi dollar sebagai modal untuk berbelanja lagi. Sebagai
tambahan informasi, dari 4.610 trilliun rupiah hutang Negara, sekitar
separuhnya adalah hutang dari pihak swasta.
Kesimpulan
dari tulisan ini adalah apapun cerita, kebijakan impor yang tidak tepat bisa
menyebabkan kegaduhan baik berasal dari masyarakat maupun kesehatan fiskal
Negara. Negara yang kuat adalah Negara yang mampu memenuhi kebutuhan
penduduknya sendiri tanpa melakukan impor dan tidak memiliki hutang kepada
Negara lain. Semoga kedepannya Negara Indonesia bisa terbebas dari hutang.
No comments:
Post a Comment