Friday, July 20, 2018

Balada Kebijakan Impor dan Bertambahnya Hutang Luar Negeri



Keadaan ekspor Indonesia pada tahun 2017 meningkat 16,22 persen jika dibandingkan tahun 2016. Peningkatan nilai ekspor tersebut disokong oleh peningkatan ekspor industri pengolahan hasil minyak yang meningkat hampir 88 persen jika dibandingkan tahun 2016. Seakan tidak mau kalah, aktivitas mengimpor barangpun naik sekitar 15,66 persen. Peningkatan kedua aktivitas ekonomi tersebut menunjukan berkobarnya kegiatan ekonomi di bumi nusantara. Patut disyukuri, selama tahun 2017 selisih nilai ekspor-impor Indonesia bernilai positif yaitu 11,84 milliar dollar, artinya aktivitas perdagangan luar negri Indonesia masih berstatus untung.
Pada hakikatnya ekspor dan Impor adalah kegiatan interaksi dua negara yang saling membutuhkan, layaknya penjual dan pembeli. Semakin maju suatu negara, biasanya angka ekspor barang akan lebih tinggi dibandingkan nilai barang yang masuk/impor. Negara yang sudah berdigdaya ada kemungkinan tidak membutuhkan barang impor dari luar negeri. Sebaliknya negara yang masih berkembang dan bahkan mendekati miskin akan sangat bergantung terhadap impor barang dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah posisi Indonesia saat ini? Mengapa pada saat pemerintah akan melakukan aktivitas impor barang selalu menjadi berita yang cukup viral di media online? Tercatat sejak rencana impor garam, impor gula, impor daging sapi dan yang paling anyar adalah rencana impor beras medium sebanyak 500.000 ton. Seakan-akan aktivitas impor sejajar dengan kasus mega korupsi.
Semua orang pasti sepakat bahwa posisi negara kita saat ini adalah bukan negara digdaya sekaligus bukan negara miskin, artinya aktivitas menjual hasil alam keluar negeri sekaligus membeli barang dari luar negeri adalah hal yang biasa. Namun menjadi tidak biasa jika barang yang kita beli adalah barang yang kita sendiri juga memproduksinya. Jika di ibaratkan, penjual nasi rames membeli nasi goreng untuk bekal makan malam. Mungkin perumpaan itulah yang cocok untuk menggambarkan kondisi polemik impor beras akhir-akhir ini.
Tidak ada salahnya memang seorang penjual nasi rames juga berhak membeli nasi goreng, mungkin sang penjual bosan dengan barang dagangannya sehingga membutuhkan sensasi lain untuk memenuhi hasrat laparnya. Sama dengan Indonesia, meskipun Bulog pada Bulan Desember 2017 lalu mengklaim bahwa stok beras di Bulog mencapai 1.1 juta ton dan diproyeksi bisa mencukupi sampai Bulan April sah-sah saja jika Indonesia masih melakukan impor beras.
Jika kita amati lebih lanjut, memang beras yang akan diimpor adalah beras medium, artinya beras hasil impor ini memang untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan kalangan tertentu yang memiliki selera lain. Mengutip sedikit pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kala, pernyataan ini beliau utarakan pada saat debat capres-cawapres pemilihan presiden tahun 2014 lalu. Pada saat itu panelis menanyakan masalah impor beras, apakah akan tetap dilakukan jika anda terpilih?jawaban Pak JK saat itu jelas, impor beras tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan beberapa kalangan yang memang kalangan tersebut hanya mengkonsumsi beras impor kualitas tertentu. Kurang lebih itulah pernyataan Pak JK pada saat debat Capres-Cawapres 2014. Poin ini sedikit menjelaskan bahwa Pasangan Jokowi-JK sejak debat capres-cawapres memang tidak menjanjikan jika terpilih kelak akan menghentikan impor beras.
Meskipun demikian, ada sedikit pertanyaan yang mengganjal dihati, pertanyaan itu adalah jika memang benar impor beras medium bertujuan memenuhi kebutuhan beberapa kalangan, apakah jumlahnya harus sebesar 500.000 ton? Jika dibandingkan dengan produksi gabah GKG ditanah air tahun 2016 (79 juta ton) atau setara 49 juta ton beras, angka tersebut hampir 1 persen dari total produksi nasional tahun 2016.
Memang belum ada kajian yang meneliti apakah dengan kuota impor 1 persen dari total produksi nasional dapat mengganggu keseimbangan harga beras nasional yang bakalan berdampak buruk bagi petani, mengingat Bulan Februari dan Maret akan memasuki masa panen raya. Semoga saja impor beras medium tidak berdampak buruk bagi para petani yang akan segera memanen sawahnya.
Kekhawatiran tentang aktivitas impor komoditas pangan sebetulnya tidak hanya sebatas ketakutan terancamnya anak bangsa yang mayoritas mengusahakan tanaman pangan. Ingat, berdasarkan data hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS setiap semesternya menyajikan data bahwa 29,69 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Kekhawatiran lain perihal impor adalah membengkaknya hutang negara.
Berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang berasal dari Bank Indonesia, hutang Indonesia sampai dengan Bulan Oktober 2017 sudah mencapai 341 milliar US$ atau setara 4.610 Trilliun rupiah (kurs 13.500). Jumlah hutang ini akan terus bertambah seiring makin hobinya Negara Indonesia melakukan aktivitas impor segala macam komoditas.
Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa impor tidak memiliki hubungan dengan hutang negara, namun menurut saya pribadi impor memiliki hubungan yang erat dengan hutang luar negeri. Kronologisnya sederhana, aktivitas impor membutuhkan dollar sebagai alat transaksi, tidak mungkin kita membeli barang impor dengan mata uang rupiah. Dengan begitu, semakin banyak suatu Negara melakukan impor maka semakin banyak dollar yang dibutuhkan.
Pada akhirnya jika cadangan devisa/ stok dollar yang dimiliki Indonesia sudah menipis, pemerintah maupun swasta akan melakukan hutang luar negeri demi mendapatkan amunisi dollar sebagai modal untuk berbelanja lagi. Sebagai tambahan informasi, dari 4.610 trilliun rupiah hutang Negara, sekitar separuhnya adalah hutang dari pihak swasta.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah apapun cerita, kebijakan impor yang tidak tepat bisa menyebabkan kegaduhan baik berasal dari masyarakat maupun kesehatan fiskal Negara. Negara yang kuat adalah Negara yang mampu memenuhi kebutuhan penduduknya sendiri tanpa melakukan impor dan tidak memiliki hutang kepada Negara lain. Semoga kedepannya Negara Indonesia bisa terbebas dari hutang.

No comments:

Post a Comment

Balada Kebijakan Impor dan Bertambahnya Hutang Luar Negeri



Keadaan ekspor Indonesia pada tahun 2017 meningkat 16,22 persen jika dibandingkan tahun 2016. Peningkatan nilai ekspor tersebut disokong oleh peningkatan ekspor industri pengolahan hasil minyak yang meningkat hampir 88 persen jika dibandingkan tahun 2016. Seakan tidak mau kalah, aktivitas mengimpor barangpun naik sekitar 15,66 persen. Peningkatan kedua aktivitas ekonomi tersebut menunjukan berkobarnya kegiatan ekonomi di bumi nusantara. Patut disyukuri, selama tahun 2017 selisih nilai ekspor-impor Indonesia bernilai positif yaitu 11,84 milliar dollar, artinya aktivitas perdagangan luar negri Indonesia masih berstatus untung.
Pada hakikatnya ekspor dan Impor adalah kegiatan interaksi dua negara yang saling membutuhkan, layaknya penjual dan pembeli. Semakin maju suatu negara, biasanya angka ekspor barang akan lebih tinggi dibandingkan nilai barang yang masuk/impor. Negara yang sudah berdigdaya ada kemungkinan tidak membutuhkan barang impor dari luar negeri. Sebaliknya negara yang masih berkembang dan bahkan mendekati miskin akan sangat bergantung terhadap impor barang dari luar negeri untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah posisi Indonesia saat ini? Mengapa pada saat pemerintah akan melakukan aktivitas impor barang selalu menjadi berita yang cukup viral di media online? Tercatat sejak rencana impor garam, impor gula, impor daging sapi dan yang paling anyar adalah rencana impor beras medium sebanyak 500.000 ton. Seakan-akan aktivitas impor sejajar dengan kasus mega korupsi.
Semua orang pasti sepakat bahwa posisi negara kita saat ini adalah bukan negara digdaya sekaligus bukan negara miskin, artinya aktivitas menjual hasil alam keluar negeri sekaligus membeli barang dari luar negeri adalah hal yang biasa. Namun menjadi tidak biasa jika barang yang kita beli adalah barang yang kita sendiri juga memproduksinya. Jika di ibaratkan, penjual nasi rames membeli nasi goreng untuk bekal makan malam. Mungkin perumpaan itulah yang cocok untuk menggambarkan kondisi polemik impor beras akhir-akhir ini.
Tidak ada salahnya memang seorang penjual nasi rames juga berhak membeli nasi goreng, mungkin sang penjual bosan dengan barang dagangannya sehingga membutuhkan sensasi lain untuk memenuhi hasrat laparnya. Sama dengan Indonesia, meskipun Bulog pada Bulan Desember 2017 lalu mengklaim bahwa stok beras di Bulog mencapai 1.1 juta ton dan diproyeksi bisa mencukupi sampai Bulan April sah-sah saja jika Indonesia masih melakukan impor beras.
Jika kita amati lebih lanjut, memang beras yang akan diimpor adalah beras medium, artinya beras hasil impor ini memang untuk memenuhi hasrat dan kebutuhan kalangan tertentu yang memiliki selera lain. Mengutip sedikit pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kala, pernyataan ini beliau utarakan pada saat debat capres-cawapres pemilihan presiden tahun 2014 lalu. Pada saat itu panelis menanyakan masalah impor beras, apakah akan tetap dilakukan jika anda terpilih?jawaban Pak JK saat itu jelas, impor beras tetap dilakukan untuk memenuhi kebutuhan beberapa kalangan yang memang kalangan tersebut hanya mengkonsumsi beras impor kualitas tertentu. Kurang lebih itulah pernyataan Pak JK pada saat debat Capres-Cawapres 2014. Poin ini sedikit menjelaskan bahwa Pasangan Jokowi-JK sejak debat capres-cawapres memang tidak menjanjikan jika terpilih kelak akan menghentikan impor beras.
Meskipun demikian, ada sedikit pertanyaan yang mengganjal dihati, pertanyaan itu adalah jika memang benar impor beras medium bertujuan memenuhi kebutuhan beberapa kalangan, apakah jumlahnya harus sebesar 500.000 ton? Jika dibandingkan dengan produksi gabah GKG ditanah air tahun 2016 (79 juta ton) atau setara 49 juta ton beras, angka tersebut hampir 1 persen dari total produksi nasional tahun 2016.
Memang belum ada kajian yang meneliti apakah dengan kuota impor 1 persen dari total produksi nasional dapat mengganggu keseimbangan harga beras nasional yang bakalan berdampak buruk bagi petani, mengingat Bulan Februari dan Maret akan memasuki masa panen raya. Semoga saja impor beras medium tidak berdampak buruk bagi para petani yang akan segera memanen sawahnya.
Kekhawatiran tentang aktivitas impor komoditas pangan sebetulnya tidak hanya sebatas ketakutan terancamnya anak bangsa yang mayoritas mengusahakan tanaman pangan. Ingat, berdasarkan data hasil Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) yang dilakukan BPS setiap semesternya menyajikan data bahwa 29,69 persen penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Kekhawatiran lain perihal impor adalah membengkaknya hutang negara.
Berdasarkan Statistik Utang Luar Negeri Indonesia yang berasal dari Bank Indonesia, hutang Indonesia sampai dengan Bulan Oktober 2017 sudah mencapai 341 milliar US$ atau setara 4.610 Trilliun rupiah (kurs 13.500). Jumlah hutang ini akan terus bertambah seiring makin hobinya Negara Indonesia melakukan aktivitas impor segala macam komoditas.
Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa impor tidak memiliki hubungan dengan hutang negara, namun menurut saya pribadi impor memiliki hubungan yang erat dengan hutang luar negeri. Kronologisnya sederhana, aktivitas impor membutuhkan dollar sebagai alat transaksi, tidak mungkin kita membeli barang impor dengan mata uang rupiah. Dengan begitu, semakin banyak suatu Negara melakukan impor maka semakin banyak dollar yang dibutuhkan.
Pada akhirnya jika cadangan devisa/ stok dollar yang dimiliki Indonesia sudah menipis, pemerintah maupun swasta akan melakukan hutang luar negeri demi mendapatkan amunisi dollar sebagai modal untuk berbelanja lagi. Sebagai tambahan informasi, dari 4.610 trilliun rupiah hutang Negara, sekitar separuhnya adalah hutang dari pihak swasta.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah apapun cerita, kebijakan impor yang tidak tepat bisa menyebabkan kegaduhan baik berasal dari masyarakat maupun kesehatan fiskal Negara. Negara yang kuat adalah Negara yang mampu memenuhi kebutuhan penduduknya sendiri tanpa melakukan impor dan tidak memiliki hutang kepada Negara lain. Semoga kedepannya Negara Indonesia bisa terbebas dari hutang.

No comments:

Post a Comment